“Selamat Ulang Tahun yang ke-92 Nahdlatul Ulama, Terimakasih atas semua hal yang telah kau berikan padaku dan bangsaku ini, uhuk.”
Alangkah berdosanya aku ini, karena baru mengenal NU akhir-akhir ini. Padahal, sejak kecil ritual dan amaliah yang ada di sekitarku -yang aku amalkan juga tentunya- adalah ritual-ritual dan amalan-amalan yang selalu dijaga dan dilestarikan oleh NU. Mulai dari doa kunut di waktu sholat subuh, tawasulan, hingga Sholat Tarawih yang bikin kita ‘sit up’ sampe 23 kali tiap Malam Ramadhan pun itu adalah ritual dan amalan yang dijaga dan dilestarikan oleh NU. Aku tidak bisa membayangkan jika NU tidak ada, apa yang terjadi dengan semua ritual dan amalan tersebut.
Selain itu Aku juga tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika NU tidak hadir dan melindungi keutuhan Bumi Nusantara ini. Banyak sekali hal yang dilakukan oleh NU untuk menjaga bangsa ini. Jika kita flashback ke belakang sebentar, maka kita bisa melihat bagaimana, dulu Mbah Hasyim pernah mengeluarkan Fatwa yang menyebabkan pertempuran hebat di Surabaya untuk mempertahankan Indonesia dari gempuran Inggris yang memberikan boncengan gratis pada Belanda. Kemudian ada K.H. Wahid Hasyim yang menengahi ‘konflik pemikiran’ tentang Sila Pertama Pancasila. Lalu ketika ada ide Nasakom, NU pun masuk kedalam lingkaran Nasakom tersebut untuk mengimbangi kekuatan PKI agar tidak terlalu menghegemoni pemerintahan. Kemudian pada tahun 2000-an ada Gus Dur yang dapat meredam terjadinya konflik horizontal pasca kejatuhan Orba sehingga Indonesia tidak terpecah menjadi negara-negara baru (walaupun bayarannya Gus Dur dilengserkan secara tidak terhormat oleh orang-orang yang tidak tahu diri). Dan masih banyak lagi jasa NU terhadap Negeri ini yang tidak bisa disebutkan semuanya.
Baca Juga: Gus Dur
NU, selalu ada disetiap zaman, baik dalam tindakan maupun pemikiran. Ya, itulah NU. Aku tidak tahu apa jadinya negeri ini jika NU tidak konsisten untuk menjaga keutuhan NKRI. Hancur? Mungkin saja. Kita tidak tahu.
…
Aku baru mengenal NU ketika aku baru masuk kuliah dan tersesat (maksudku tersesat di jalan yang benar) dalam organisasi yang bernama PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), iya, organisasi mahasiswa yang bakalan langsung manggil kalian sahabat/sahabati walaupun baru kenal cuma beberapa detik doang. Memang terkesan seperti SKSD. Tapi, ada alasan dibalik kenapa mereka langsung manggil kalian sabahat/sahabati. Kalian tahu? Ya, karena Rasulullah juga menggunakan panggilan tersebut kepada para sahabatnya.
Sampai sekarang aku tidak habis fikir, kenapa aku bisa masuk PMII? Padahal sebenarnya masih banyak organisasi mahasiswa lain yang lebih keren dan lebih asik daripada PMII -setidaknya dalam pandanganku seperti itu.
Di Kampusku ada KAMMI yang orang-orangnya sangat islami [maksudku mereka selalu menjalankan syariat islam dengan baik -parameter paling mudahnya adalah dalam hal menutup aurat]. Ada juga HMI yang banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti Yusril, Mahfud MD, Anies, JK, dan lain-lainnya. Kemudian ada GMNI yang menjadikan Sukarno sebagai panutan organisasinya (Marhaenisme) sehingga jangan aneh ketika kalian mendengar mereka berbicara dalam sebuah forum, kalian akan terpana dengan cara berbicara mereka, begitu dialektis, persis seperti Sukarno. Organisasi kiripun banyak di Kampusku, mereka yang selalu memikirkan rakyat-rakyat tertindas dan juga melakukan perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah yang tidak pro-rakyat kecil. Tentu saja dengan landasan teologi-teologi kiri mereka yang begitu membuka mata. Aku sendiri pernah berkenalan dengan ‘orang-orang kiri’ ketika masih SMK dan aku sangat terkagum-kagum pada mereka. Ambil lah salah satu contoh terbaiknya, Tan Malaka. Ketika yang lainnya sibuk memikirkan bagaimana caranya agar Indonesia bisa merdeka. Tan Malaka justru melangkah lebih maju dengan membuat sebuah konsep Negara Indonesia dalam bukunya Naar De Republiek.
Apapun alasan pastinya kenapa aku masuk PMII, mungkin aku tidak akan pernah tau. Biarkan saja seperti itu. Mungkin aku memang masuk PMII karena tersesat.. [sekali lagi, tersesat di jalan yang benar]
…
Di PMII sendiri aku belajar tentang Manhaj Aswaja yang dijaga oleh NU -lebih tepatnya manhaj Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah wal Maturidiyah-. Dulu, ketika aku masih belum mengenal NU, aku berislam hanya sebatas “aku orang islam”. Selesai.
Jika berislamku masih sama seperti dulu, mungkin kemarin aku sudah ikut reuni Aksi Bela Islam 212 yang begitu fenomenal. Lalu, kebingungan setelah mengikuti acara tersebut. Kenapa kebingungan? karena mereka selalu mengatakan “kami umat islam, jangan pecahkan kami”. Tapi ternyata, belum juga disentuh eh malah pecah sendiri.
Dalam perkumpulan mereka, sekarang ada yang namanya Presidium Alumni 212, ada Persaudaraan Alumni 212, ada Garda 212 dan ada juga Korps 212. Mereka semua sama, mengatakan bahwa mereka adalah wadah tempat berkumpulnya alumni 212. Nah lho mau ngikut yang mana coba.
Tapi, sejujurnya aku juga salut pada Alumni 212. Ketika yang lainnya sibuk menuntut pemerintah karena menjamurnya mini market di daerah-daerah. Alumni 212 melakukan aksi nyata dengan membuat mini market 212 untuk mengimbanginya.
…
Kembali lagi pada NU.
NU itu moderat maka PMII pun sudah pasti moderat. Karena PMII lahir dari rahim NU [yah, walaupun saat ini PMII sedang tidak mengakui ‘ibunya’]. Dan Bagiku, moderat -secara pemikiran dan tindakan- adalah sebuah tantangan. Sebuah tantangan karena ketika menjadi moderat itu artinya kamu harus bisa menjadi seorang ekstrimis. Ekstrimis kiri dan ekstrimis kanan sekaligus.