Pagi menjelang siang sekitar pukul 08.30 pagi, matahari masih terasa hangat dikulit. Suasana di luar sepi, santriwan dan santriwati sedang belajar didalam kelasnya masing-masing. Pondok modern An-Nur yang terletak di Pandeglang Banten, menerapkan kedisiplinan tinggi untuk para santrinya. Para ustadz dan ustadzah sedang fokus mengajar para santri di kelasnya, kecuali Amurti. Amurti berdiri ditengah lapangan basket, menikmati hangatnya sinar matahari. Berharap sinar matahari pagi bisa membuat otak Amurti sedikit mencair.
Amurti sering menjadi langganan para pengajar, kemudia dihukum atas kesalahan dan kemalasan yang dibuatnya. Amurti adalah santriwan kelas 8 Tsanawiyah. Dirinya adalah sosok yang lambat, cuek, dan bodoh. Seharusnya Amurti sedang mengikuti pelajaran matematika, namun karena Amurti tidak mampu setor hapalan perkalian dasar, akhirnya dihukum untuk kesekian kalinya. Dirinya memang sudah duduk di kelas 8 Tsanawiyah namun masih belum mampu menghapal perkalian dasar 1 sampai 10.
Berbekal buku lecek perkalian miliknya, Amurti bukannya menghapalnya tapi malah menggunakannya untuk menahan silau cahaya matahari. Sudah berbagai cara dilakukan oleh sang ustadz agar Amurti mau menghapal perkalian dasar, namun tidak satupun caranya berhasil. Mulai dari mengajari dengan lembut, lalu sedikit memaksa, dan akhirnya sangat amat dipaksa semuanya belum ada kemajuan sedikitpun. Bahkan perkalian 3 saja dirinya tidak bisa. Bukan hanya dalam matematika namun hampir semua mata pelajaran dirinya sangat kurang menguasai.
Ketika Amurti sedang menahan cahaya matahari yang silau dengan bukunya dipinggir lapangan duduk seorang bapak-bapak. Dia adalah penjaga pondok. Penghuni pondok biasa menyebutnya Ki Agem. Usianya sudah menginjak kepala lima, dirinya hidup sendirian yang letaknya tidak jauh dari pondok. Istrinya Ki Agem sudah meninggal dan dia tidak dikaruniai anak. Akhirnya pimpinan pondok meminta Ki Agem untuk menjadi penjaga pondok, agar dirinya memiliki kegiatan dan tidak merasa kesepian di rumahnya.
Ki Agem menyeru Amurti yang berada ditengah lapangan “Hey Murti, apakah kau tidak bosan dengan hukuman ini?” Ki Agem sambil tertawa meledek.
“Aku menikmatinya Ki, dibandingkan harus pusing di kelas dengan ustadz yang menyebalkan. Lapangan dan cahaya matahari ini jauh lebih menyenangkan.” Jawab Amurti
“Hahaha, aku kira kau hanya pura-pura bodoh, ternyata memang kau benar-benar bodoh.” Ki Agem menimpal masih meledek.
“Aku memang tidak paham dengan angka-angka itu, bahasa-bahasa itu, sejarah-sejarah itu, semuanya tidak aku sukai. Apalagi yang mengajarnya.” Sahut Amurti.
“Wah,wah,wah, ucapanmu Mur..Mur.. jangan sampai hidupmu dikendalikan oleh rasa suka dan tidak suka.”
“Ah, aku tak paham apa yang kau ucapkan Ki.” Amurti menimpal tidak peduli.
“Aku mengatakan hal-hal sederhana Mur, bukan pelajaran sekolah yang kau benci. Kau masih tidak paham apa yang aku ucapkan?”
“hem, apakah kau berharap aku akan paham dengan nasehatmu itu, Ki?” Amurti kembali menimpali dengan pertanyaan. Dengan sedikit memiringkan bibir dan mengangkat sebelah alisnya, tanda dirinya tidak peduli.
“Hahaha baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi. Sepertinya kau sedang menikmati hukuman ini. “Ki Agem kali ini pergi meninggalkan Amurti ditengan lapangan.
Amurti akan berdiri sampai jam pelajaran tersebut selesai. Setelah itu Amurti bisa masuk di jam pelajaran yang lain. Itupun kalau Amurti tidak terkena hukuman lagi karena kebodohannya.
***
Ratusan santri berlarian keluar masjid selepas sholat dzuhur berjamaah, untuk berburu antrian didepan dapur mengambil jatah makan siang. Karena siapa yang paling akhir dia hanya akan kebagian sisa, bahkan kehabisan. Amurti sudah jelas selalu dapat antrian paling awal. Karena Amurti selalu mengambil barisan solat paling belakang dan paling dekat dengan pintu. Sehingga ketika bubar, dirinya paling pertama yang berhasil keluar dan berlari kencang menuju dapur.
Ki Agem tak sengaja melihat Amurti yang sedang berdiri depan pintu dapur yang masih tertutup, “Hey Murti, baru kali ini aku melihat kau seantusias ini. Andaikan kau melakukan hal yang sama ketika belajar.” Ujar Ki Agem.
“Hehe, aku lapar Ki.” Jawab Amurti.
“Mari ikutlah denganku Murti, makan ditempatku saja. Aku puasa, kau makan saja jatah makan siangku.”
“Sungguh? Kau tidak sedang membohongiku kan?” Amurti memastikan.
“Aku bukan engkau Murti, yang suka membohongi kawan-kawanmu.”
Tanpa banyak bicara lagi, Amurti berjalan mengikuti langkah Ki Agem dari belakang. Dengan gaya khas berjalan Ki Agem langkahnya halus namun pasti. Jika kita tidak melihat kakinya, ia seperti melayang.Selama perjalanan Amurti hanya memastikan kebenaran Ki Agem. Amurti masih sedikit was-was, jika dirinya sedang dikerjai oleh Ki Agem.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Ki Agem dan Amurti sampai. Karena dapur berada dibagian belakang pondok, sedangkan pos penjaga berada di depan gerbang pondok. Diatas meja sudah tersedia satu kotak makanan yang sudah dipastikan isinya pasti jauh lebih enak dari menu yang disediakan di dapur untuk para santri.
“Makanlah, bukankah kau ke sini untuk makan?” Ki Agem mempersilahkan dengan gaya bicaranya seperti pada teman sebaya.
“Terimakasih Ki, kau memang baik.” Jawab Amurti.
“Memang kapan aku pernah menjahatimu? Selama ini semua orang di pondok ini selalu bersikap baik padamu.” Ucap Ki Agem.
Murti tidak mempedulikan jawaban Ki Agem, diriya sibuk dengan makanan di depannya yang terlihat sangat nikmat. Saat Amurti menyantap makanannya ia mengeluarkan keringat didahiny, tanda ia menikmatinya . Dirinya lupa kapan terakhir makan enak, rasanya selama di pondok ia hanya makan untuk kenyang saja. Bukan untuk kenikmatan. Karena banyaknya jumlah santri, koki dapur pondok memasak alakadarnya saja, tidak pernah menyicip sedap atau tidak.
“Alhamdulillah.” suara sendawa keluar dari mulut Amurti diiringi ucapan hamdalah.
“Hahaha, sudah kenyang, Mur?” Tanya Ki Agem.
“Sudah Ki, Alhamdulillah. Ki,kalau kau selalu puasa aku dengan ikhlas membantumu menghabiskan makan siangmu ini.” Murti berbicara setengah becanda.
“Wah, dengan senang hati. Datanglah setiap hari, Mur. Jika memang kau menginginkannya.”
“Serius ,Ki?” dengan memasang wajah terkejut untuk memastikan.
“Jika kau serius menginginkannya pasti kau akan selalu dapat makanan di atas mejaku itu, Mur.”
Murti saat itu kegirangan bukan main,dirinya tidak perlu berlomba berebut makan siang yang jelas tidak enak.
Namun dibalik ini semua, sebenarnya Ki Agem memiliki tujuan lain yang ingin dilakukan kepada Amurti. Ki Agem ingin membimbing Amurti seperti anaknya, karena Ki Agem selalu mengharapkan seorang anak hadir dalam hidupnya. Ki Agem merasa Amurti adalah anak lelaki yang membutuhkan amunisi bimbingan yang lebih ekstra dibandingkan teman-temannya.
Selepas sholat dzuhur dan makan siang, para santri memiliki waktu istirahat sampai Asar mendatang. Saat itu Murti masih betah di pos penjaga bersama Ki Agem. Ki Agem adalah sosok yang hangat, ramah, baik, dan siapapun yang bersamanya akan mendapat penerangan dari setiap nasehatnya. Anehnya lagi, nasehat yang diucapkan oleh Ki Agem akan melekat pada siapapun yang mendengarnya. Dirinya bukan hanya seorang penjaga pondok biasa, tapi ia adalah gurunya para guru di pondok. Ia adalah sosok yang dituakan dan dihormati.
Ki Agem masih mencari celah agar dirinya bisa masuk dalam dunia Amurti. Jauh didalam lubuk hati Ki Agem dirinya ingin sekali memberi sedikit lubang untuk modal awal jalan keluar bagi Amurti mengahadapi sekolahnya, “Hey Mur, hari ini berapa kali kau dihukum oleh ustadz dan ustadzah?” Tanya Ki Agem.
Amurti tidak menjawab apapun. Dirinya langsung pamit, dan meninggalkan Ki Agem sendirian di pos penjaga.
Setiap hari, sudah hampir seminggu Amurti datang ke pos penjaga selepas sholat dzuhur untuk makan. Ketika Amurti makan, maka giliran Ki Agem yang mendirikan sholat dzuhur. Sebenarnya Ki Agem tidak puasa, namununtuk menarik mendekati Amurti hal ini ia lakukan. Setiap harinya Amurti mulai sedikit berubah, terlihat bahwa dirinya sangat nyaman dekat dengan Ki Agem.
Ki Agem mulai merasakan kedekatan dirinya dengan Amurti. Ki Agem baru saja selesai melaksanakan Sholat dzuhur. Ini adalah hari kesepuluh Amurti memakan makan siang Ki Agem, “Nikmat, Mur?” tanya Ki Agem.
“Sangat, Ki” menjawab dengan mulutnya yang masih penuh dengan makanan.
“Syukurlah kalau kau menikmatinya, Mur.” ucap Ki Agem, kali ini dia membiarkan Amurti menyelesaikan makannya.
“Alhambulillah, enak sekali ayam bakar dengan samba terasinya yang pedas dan nasinya yang pulen.” dengan sendawa khasnya, dan tidak lupa dengan ucapan hamdalah yang dilontarkannya.
“Aku senang melihat kau tersenyum karena kenyang, haha” Ki Agem menimpali ucapan Amurti.
“Terimakasih, Ki.” ucap Amurti, dengan wajah sumringahnya.
“Ngomong-ngomong hari ini berapa kali kau dihukum, Mur?” Ki Agem bertanya memastikan perkembangan Amurti.
“Tidak banyak hanya dua mata pelajaran saja, Ki.”
“Hahah, kau bilang tidak banyak. Hanya dua dari tiga pelajaran?” ujar Ki Agem.
“Aku bingung, kenapa aku sulit sekali paham dengan pelajaran-pelajaran di kelas. kenapa Allah meng-anugrahi otak bebal ini untuku.” Pertama kalinya Amurti mau menjelaskan keluhan atas kebodohan dirinya.
“Kau bodoh, dan sekarang kau menyalahkan Allah? Kebodohanmu kali ini bertambah jadi dua kali lipat, Mur.” Ucap Ki Agem.
“Otak ini hanya jadi beban hidupku saja sepertinya,Ki. Jika bukan salah Allah yang menciptakan otakku yang bodoh, lalu adakah jalan yang Allah berikan untuk mengubah otak ini agar tidak bebal?” Amurti mulai tebuka dan tidak sungkan mengeluarkan isi pikirannya selama ini.
“begini nak,setiap manusia diberikan dua unsur dasar dalam jiwanya yaitu, ‘akal’ dan ‘nafsu’. Kebodohan itu tidak datang dari Allah, tapi kita yang tidak menahannya untuk hadir.” Ki Agem berusaha menjelaskan secara perlahan.
“Aku tidak paham apa yang kau katakana itu, Ki.” Kali ini Amurti mulai sedikit ingin mendengar sebuah nasehat. Biasanya dia tidak mempedulikan apapun nasehat orang-orang.
“Hahaha, baiklah kau jangan memotong penjelasanku. Sebelum aku memperbolehkan kamu bicara.” jelas Ki Agem.
“Baiklah, kali ini aku akan mendengar nasehat orang. tapi aku tidak janji akan paham dan memasukannya dalam diriku. yah?” Amurti memasang sikap antusias seperti sedang melihat makanan.
“Hahahah, aku suka gayamu kali ini. Baiklah. Kau tahu tidak nak?, Allah telah menciptakan hukum sebab-akibat dibumi ini. Dimana semua manusia punya potensi yang sama untuk menjadi pintar, bodoh, kaya, miskin atau lainnya. Kita semua pernah melalui masa dalam kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan tua. Aku lahir dalam keadaan menangis dan tanpa busana, bahkan tanpa satu titik pun ingatan, dan pengetahuan. Ketika aku lahir aku tidak kenal siapa ibu, bapak, dan saudaraku. Begitupun kau.
“Guru-guru dan teman-temanmu mengalami hal yang sama. Tanpa terkecuali. Itu berarti tandanya kau, aku, teman-temanmu, guru-gurumu, bahkan orang tuamu memiliki potensi yang sama untuk hidup. Tidak ada hasil yang baik tanpa usaha yang maksimal. Jika usaha yang kau keluarkan nol, maka jangan berharap kau mendapatkan hasil 100. Temanmu yang pintar dikelas, dia berusaha untuk menahan kebodohan hadir dalam dirinya, hanya saja kau tak pernah melihat kerasnya usaha temanmu. Bukan begitu, Mur?” Jelas Ki Agem.
kali ini Amurti hanya diam. Ki Agem melihat Amurti yang duduk dengan tatapan seperti melamun. Namun Amurti kali ini bukan sedang melamun, tapi dirinya sedang mencerna ucapan dari Ki Agem. Amurti lalu berkata “Tapi Ki aku merasa sulit sekali paham dengan semua pelajaran itu. Otakku seperti mau pecah rasanya karena tidak paham-paham” jelas Amurti.
“Hahaha, kau lucu sekali. Apakah kau pernah melihat manusia kepalanya pecah atau meledak karena digunakan untuk belajar memahami sesuatu?” Ki Agem menimpali ucapan Amurti yang terdengar konyol olehnya.
“Ya jelas tidak, Ki.” Amurti menjawab sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
” Itu berarti hanya perasaan kau saja, Mur. Aku pernah bilang padamu, jangan kau kendalikan hidupmu atas dasar suka dan tidak suka. Jika yang kau cari hanya yang Kau suka, maka semua hal yang kau jalani bukan kebenaran melainkan hanya pembenaran atas dirimu. Seperti saat ini, kau masih bersikeras membenarkan kebodohanmu atas dasar kemalasanmu.”
Amurti kali ini tidak menimpali perkataan Ki Agem, ia sudah mulai sadar atas kesalahan cara berpikir dirinya sendiri. Ki Agem masih ingin menyampaikan suatu kisah yang didengarnya dari ayahnya dulu ketika dirinya seumur Amurti, “Aku punya kisah tentang murid yang sulit sekali paham dengan pelajaran dari gurunya.” ujar Ki Agem kepada Amurti.
***
Ki Agem pun bercerita, bahwa dahulu ada seorang Murid yang mendatangi Gurunya, murid ini adalah murid paling bodoh diantara teman-temannya. Dirinya sudah sangat benci dengan otak bodoh yang dimilikinya. Hingga suatu hari ia memberanikan diri mendatangi Gurunya. Lalu ia bertanya pada Gurunya “Guru, kenapa aku bodoh? Kenapa aku sulit sekali memahami ilmu yang kau berikan kepadaku?”.
Sang Guru tidak menjawab pertanyan si Murid, karena sang Guru tau penjelasan tidak akan membuat si Murid paham. Lalu sang Guru memerintahkan Muridnya untuk mengambil dua timbaan yang berisi air penuh. Muridnya pun menuruti perintah sang Guru tanpa bertanya sedikitpun. Setelah berhasil membawa dua timbaan berisi air, lalu sang Guru menyuruh si Murid untuk membawa timbaan tersebut ke tengah lapangan. Dimana saat itu adalah musim salju, dan sang Guru memerintahkan untuk menyimpan satu timbaan tanpa Murid apa-apakan, sedangkan satu timbaan lagi harus digoyang-goyangkannya terus-menerus.
Si Murid melakukan apa yang diperintahkan sang Guru. Ia menggoyang-goyangkan timbaan yang satu, dan satu lagi ia diamkan. Setelah beberapa saat, si Murid melihat air yang ia diamkan mulai membeku karena dingin, sedangkan yang ia goyang-goyangkan masih belum membeku. Akhirnya si Murid mendapat jawaban apa yang ingin disampaikan oleh Gurunya.
***
Setelah usai bercerita, Ki Agem menjelaskan makna dari cerita kepada Amurti yang pada saat itu masih terlihat bingung, “Jadi sebodoh apapun kita, yang kita lakukan adalah jangan pernah berhenti berpikir. Dalam menggoyang-goyangkan timbaan berisi air ada usaha dan ada tenaga. Sama ketika dalam berpikir harus dibarengi dengan usaha dan dibantu oleh tenaga untuk melakukan proses berpikir tersebut. Itu adalah jawabannya. Jika kita hanya diam, tidak pernah mencoba untuk memahami apa yang tidak kita paham, tunggulah kebodohan itu hadir dan menjadi penguasa dalam diri. Lalu kamu bandingkan dengan temanmu yang pintar –karena berusaha- dan kamu dengan mudahnya menyalahkan Allah yang menciptakan kebodohan. Begitu, Mur. Apa kau paham?” Ki Agem dengan lembut dan hangat berharap perkataannya bisa masuk kedalam akalnya Murti.
Amurti masih terdiam. tidak tahu kekuatan seperti apa yang dimiliki Ki Agem, yang pasti Amurti memahaminya. Amurti membenarkan jawaban dari Ki Agem. Sekian seringnya seluar masuk ruang konseling sekolah, tidak pernah ada nasehat gurunya yang mampu menyentuh Mur. Karena Ustadz dan Ustadzah selalu menuntut dan menyalahkan apa kesalah dan kebodohan, Mur. Lalu berujung dengan hukuman. Itu membuat Mur merasa semakin benci terhadap keadaan dirinya, juga lingkungannya.
***
Tidak terasa, adzan Asar sudah berkumandang. Mur segera bergegas pamit kepada Ki Agem untuk pergi ke masjid “Ki, aku harus pergi ke masjid. Kali ini aku akan sholat dibarisan paling depan, Ki. Haha,” ucapnya Mur.
“Wah, apakah ini sisi tidak waras mu, Mur? Aku curiga, haha” timpal Ki Agem kembali melontarkan gurauan.
“Sepertinya begitu, Ki. Assalamu,alaikum.” Kali ini Mur mencium tangan Ki Agem, lalu pergi.
Mur sadar bahwa selama ini dirinya memang tidak pernah melakukan usaha. Dirinya selalu menghindar ketika menemukan kesulitan, dan menganggap otaknya tidak sanggup menerima pelajaran itu. Ternyata Amurti bukan membenci Ustadz-ustadzahnya atau pelajaran-pelajaran itu. Tapi justru yang Amurti membenci kebodohan dalam dirinya sendiri.
Kali ini entah kenapa Amurti sangat bersemangat setelah berbincang dengan Ki Agem. Amurti telah menemukan sosok sahabat, ayah, guru didalam sosok Ki Agem. Sosok Ki Agem seperti api unggun, memberi ‘terang’ ditengah malam, memberi ‘hangat’ ditengah dingin, semua akan fokus melihat wujud dirinya, dan ada rasa nyaman ketika berada didekatnya.