Sabtu, Maret 25, 2023
Garis Waktu: Bergerak Atau Terjerembab Dalam Nestapa

Sinopsis

Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk selamanya.

Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau terluka dan kehilangan pegangan.

Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau ingin melompat mundur pada titik-titik kenangan tertentu.

Maka, ikhlaskan saja kalau begitu.

Karena sesungguhnya, yang lebih menyakitkan dari melepaskan sesuatu adalah berpegangan pada sesuatu yang menyakitimu secara perlahan.

Prolog

“Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk selamanya. Kemudian, satu orang tersebut akan menjadi bagian terbesar dalam agendamu. Dan hatimu takkan memberikan apa pun kecuali jatuh cinta, biarpun logika terus berkata bahwa risiko jatuh cinta adalah terjerembab di dasar nestapa.”hal_4

Garis Waktu adalah debut pertama Fiersa Besari dalam menulis buku yang di luncurkan pada tahun 2016. Selain menulis, Bung Fiersa (sapaan akrabnya) juga merupakan seorang penyanyi aliran folk yang berasal dari Bandung sekaligus pecinta alam.

Orang-orang (Kecuali saya) mengenal Bung Fiersa dari cuitan-cuitan twitternya yang begitu menarik, penuh makna dan sangat mewakili apa yang dirasakan oleh pembacanya. Khususnya soal percintaan. Lewat cuitannya tersebut, Bung Fiersa selalu sukses membuat baper para pembacanya.

Karena saya tidak bermain twitter, Saya mengenal Bung Fiersa langsung dari buku dia: Catatan Juang—buku ketiga yang sama menariknya dengan buku yang akan Saya review ini.

Kesan Terhadap Garis Waktu

Kesan pertama Saya ketika melihat Garis Waktu cukup menyenangkan. Covernya yang putih dengan tambahan gambar foto polaroid yang menggantung mengajak Saya flashback pada masa lalu. Ada kesan old yang tercipta, sederhana namun penuh makna.

Tulisan “Sebuah Perjalanan Menghapus Luka” juga salah satu hal yang membuat Saya tertarik pada buku ini. Tulisan itu seolah-olah mengatakan bahwa Garis Waktu adalah buku resep menyembuhkan luka yang sedang Saya rasakan.

Isi Buku

Sebenarnya, buku ini merupakan rangkuman dari beberapa tulisan Bung Fiersa dari tahun 2012 sampai tahun 2016. Tulisan ini dibuat ketika sebelum dan sesudah Bung Fiersa berkeliling ke berbagai tempat eksotis di Indonesia dalam rangka pencarian jati dirinya. Buku ini juga mewakili proses menulis Bung Fiersa di dunia maya selama bertahun-tahun sampai akhirnya menjadi sebuah buku.

Buku ini bercerita tentang “Aku” yang mengingat masa-masa terbaiknya ketika sebelum dan setelah adanya “Kau”. “Aku” menguraikan perasaan-perasaannya kepada “Kau” dalam bentuk surat dari April tahun pertama hingga Maret tahun ke lima: dari awal perjumpaan sampai perpisahan.

Baca Juga: Binatangisme

Ada 49 surat pendek yang dituliskan “Aku”. Surat-surat tersebut berisikan pernyataan, pertanyaan, harapan, kerinduan, kegelisahan, dan kemarahan yang dialami “Aku” kepada “Kau”—perempuan yang membuat “Aku” jatuh hati sekaligus patah hati.

Bung Fiersa memang sangat lihai dalam mengaduk-aduk perasaan pembacanya. Menuangkan segala kenangan dan kerinduan dalam bentuk tulisan adalah keahilannya. Setiap rangkaian kata yang disusunnya membuat Saya ikut terenyuh dan merasakan setiap emosi yang dialami “Aku”.

Mungkin karena menggunakan sudut pandang orang pertama, sehingga seakan-akan Saya sendiri yang merasakan kejadian yang ada dalam buku tersebut. Bung Fiersa memang begitu mengerti dan memahami pembacanya. Dari awal sampai akhir Saya seperti diajak untuk mendamba, berharap, jatuh cinta, patah hati dan tersakiti karena dikhianati, sampai akhirnya Saya diajari tentang bagaimana caranya menyembuhkan luka dan mengikhlaskan.

Bagi Saya membaca Garis Waktu tidaklah membosankan karena disetiap suratnya terdapat foto-foto—semacam foto ilustrasi yang membuat Saya semakin larut dalam setiap paragrafnya. Setiap lembaran yang Saya buka selalu di ikuti oleh penggambaran yang terdapat dalam foto tersebut. Tentu saja dengan sedikit imajinasi, foto-foto tersebut dapat bergerak dan Sayapun bisa hidup di dalamnya.

Bukan Buku Cengeng

Salah satu ciri khas Bung Fiersa dalam menulis—yang Saya rasakan adalah meskipun Garis Waktu adalah buku bertemakan cinta, namun di dalamnya Bung Fiersa selalu menyisipkan pesan-pesan tentang humanisme dan kehidupan sosial. Sehingga buku ini tidak hanya sukses membuat Saya baper oleh kisah cintanya, namun juga tersentil oleh pesan-pesan yang di sisipkan tersebut. Tersentil dan tersadarkan.

Seperti dalam Surat ke-25, dimana “Aku” mengingatkan tentang bagaimana kita nanti pada saat meninggal. Selama ini apakah kita sudah menjalani hidup dengan cara yang baik atau justru sebaliknya? “Aku” mengingatkan bahwa kita hanya satu kali menjadi anak kecil, satu kali menjadi dewasa dan satu kali meninggal—yang artinya kita hidup hanya satu kali. Dengan hidup yang hanya satu kali ini apakah kita sudah menghargainya atau justru telah menyia-nyiakannya dengan membuang-buang waktu dan mengurusi hal-hal yang tidak penting, menghakimi hal yang tidak kita tahu, atau memusuhi hal yang tidak kita mengerti?

Tentu saja hidup kita bukan hanya untuk menangisi kepergian dia yang sudah berlalu atau sekedar bekerja mati-matian disebuah ruangan kecil sehinga kita lupa cara menikmati hidup. Kita mempunyai tujuan yang lebih besar yang harus kita cari—bukan terjebak dalam rutinitas yang semu.

Atau dalam Surat ke-24 ketika Saya merasa sangat tersentil ketika ditanya oleh “Aku” mengenai seberapa jauh kita benar-benar tahu tentang orang tua kita? Bahwa kita selama ini, kita, sebagai anak mungkin tidak pernah benar-benar duduk diam mendengarkan cerita mereka. Padahal orang tualah pelindung yang berdiri di barisan paling depan untuk menjaga kita: anak-anaknya. Namun kita justru terlalu sibuk mengurusi urusan kita sendiri, sampai terkadang lupa untuk sekedar mengabari mereka.

Cocok Buat Kamu

Garis Waktu adalah buku Bung Fiersa yang sangat menyentuh. Membaca buku ini dapat membuat kita bernostalgia dengan masa lalu­—mengingat tentang si dia kemudian belajar untuk melupakannya.

Buku ini dapat menjadi bahan renungan bahwa akan ada pelangi setelah hujan—akan ada kebahagiaan setelah kesedihan berlalu.

Ditinggal oleh sang pujaan hati bukanlah masalah. Ketika itu terjadi bersedih dan menagislah sejadi-jadinya, akan tetapi jangan sampai kita terlarut dalam kesedihan tersebut sehingga Kita melupakan hal-hal lain yang bisa kita lakukan. Karena, hidup ini bukan hanya tentang si dia yang sudah menyakiti kita.

Dari buku ini kita dapat berfikir bahwa pelajaran hidup yang terbaik bukan datang dari pengalaman yang indah akan tetapi pelajaran hidup yang terbaik justru datang dari pengalaman yang buruk karena dari pengalaman tersebut kita dapat belajar untuk bangkit kembali.

Garis Waktu cocok untuk kamu yang ingin mecari buku bacaan ringan atau sedang butuh bacaan yang menguatkan diri—karena baru ditinggal si dia.

Untuk kamu yang bingung bagaimana caranya bangkit dari keterpurukan. Garis Waktu adalah pilihan yang tepat.

“Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau terluka dan kehilangan pegangan. Yang paling menggiurkan setelahnya adalah berbaring, menikmati kepedihan dan membiarkan garis waktu menyeretmu yang niat tak niat menjalani hidup. Lantas, mau sampai kapan? Sampai segalanya terlambat untuk dibenahi? Sampai cahayamu benar-benar padam? Sadarkah bahwa Tuhan mengujimu karena dia percaya darimu lebih kuar dari yang kau duga?

“Bangkit. Hidup takkan menunggu” hal_24

Tags: ,
Merupakan mahasiswa yang aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan sangat tertarik dengan isu-isu perempuan

Related Article

No Related Article

3 Comments

daud el-nizar 1 Februari 2019 at 02:11

Nice 🙂

L Nizar 1 Februari 2019 at 02:00

Nice 🙂

Fika 30 Januari 2019 at 09:17

Aku suka yang berbau bau perasaan :))

Leave a Comment

Kategori

  • Esai (34)
  • Kabupaten Pandeglang (23)
  • Kota Cilegon (1)
  • Resensi (4)
  • Sastra (9)
  • Tokoh (2)
  • Unique (8)
  • Ikuti Kami!

    %d blogger menyukai ini: