Surplus Bicara, Malas Mendengar
Menyaksikan gerak iklim ketidakmenentuan zaman. Gaungan globalisasi nampaknya menjadi satu idiom kegembiraan, sekaligus ketakutan yang sedang dihadapi oleh seluruh umat manusia. Oleh karena itu segala macam bentuk perubahan nyatanya tidak serta merta berdampak kemaslahatan. Malah, bisa sangat memungkinkan bermuara kemudharatan.
Ibarat perlintasan jalan, zaman yang sedang kita lewati hari ini begitu disesaki orang. Semuanya memiliki kedaulatan akses yang luas sekalipun tanpa alat pengamanan, dalam mengisi ruang-ruang keilmuan, berkompetisi satu sama lain maupun dalam berdakwah keagamaan. Sehingga, potensi kecelakaannya sangat besar. Terlihat dari bagaimana terjadinya suatu gejala “sakit sosial” di sepanjang perlintasan media sosial. Sebagaimana penuturan Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (bareskrim) Polri Brigjen Rachmad Wibowo bahwa sepanjang tahun 2018 setidaknya ada 3.000 akun yang di deteksi Polri secara aktif menyebarkan ujaran kebencian di media sosial. Beberapa diantaranya masuk ke dalam indikator 5 jenis kejahatan; mulai dari hoaks, berita palsu, penistaan agama, hingga pencemaran nama baik[1]. Dan dari banyaknya persebaran akun tersebut, Polisi hanya berhasil menangkap 122 orang. Artinya, ini sinyal emergency bagi semua pihak, terutama bagi segenap pemuda sebagai agen of change Bangsa Indonesia.
Namun, sangat di sayangkan, sering kali saya temui kecenderungan perilaku hiperaktif anak muda di media sosial kebanyakan hanya sekadar “curhat”. Tanpa pernah menyadari, mengamati serta menganalisis atau mungkin jemu dengan berbagai penyakit yang sebenarnya berselancar bebas di genggaman tangan, sehingga memunculkan sikap apatis. Sementara, di sisi yang lain, nilai keteladanan menjadi barang yang amat susah ditemukan. Jadi, jangan heran apabila hari ini kita sedang mengalami suatu keadaan dimana; secara kebudayaan, psikologi sosial, maupun kejernihan berfikir anak muda dengan massif di racuni oleh suatu kultur “tidak sehat” tersebut.
Kendati, saya pemuda. Atau siapapun saja, baik yang secara usia terbilang tua namun memiliki jiwa muda, tentu harus “merasa” memliki tanggung jawab sosial yang sama. Dengan, melibatkan diri dalam membangun harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang teduh. Sebab, Saya khususnya, sudah terlalu gerah mendengar gaduhnya pertengkaran. Budaya saling menjatuhkan maupun cocok tanam ketidakpercayaan satu sama lain. Kalau demikian terus, kapan kita bisa ready to compete sebagai bangsa menghadapi gelombang Revolusi Industri 4.0?
Spirit Of Heroism Sultan Ageng Tirtayasa
Ada kekhawatiran yang serius, manakala kisah-kisah heroik kepahlawan mengendap sebagai abu masa lalu, tanpa pernah kita menggali serta menyalakan api keteladanannya. Sementara kebisingan prasangka, distrust bahkan maraknya budaya “berkomentar” tanpa dasar argumentasi mewabah di berbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara akibat dari pada cuaca tidak sehat di ruang-ruang publik. Lambat laun, tenun kebangsaan bisa bergerak ke arah sentrifugal yang beringas.
Barangkali, menjadi urgensi untuk mengangkat kembali kisah-kisah heroik kepahlawanan. Sebagai bahan reflektif kaum muda dalam menjalani kehidupan mutakhir hari ini dan masa mendatang. Betapapun Nabi Muhammad, Yesus Kristus, Sidharta Gautama telah tiada ribuan tahun lamanya, namun perangai mereka terus di teladani hingga kini. Tak lekang oleh waktu. Mengapa demikian? Karena suri teladan mereka terus dikisahkan[2]. Selanjutnya, di singgung pula oleh Sidarto Danusubroto bahwa keteladanan itu adalah nilai yang operasional, bukan sekadar kata-kata mutiara. Artinya, selain bersifat inspiratif, juga aplikatif.
Membincang soal Banten, dengan kekayaan jejak kesejarahannya, kreatifitas budayanya, serta letak strategis geolpolitknya menjadi suatu hal amat menarik. Terutama, mengenai penyematan nama pahlawan di salah satu nama Perguruan Tinggi di Banten, yakni Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Mungkin, nama tersebut sudah tidak asing terdengar di telinga masyarakat Banten sendiri, umumnya seluruh masyarakat Indonesia. Tetapi, apakah semua orang mengetahui nama aslinya? Genealogi perjuangannya? Alih-alih bisa menemukan impresi keteladan hidupnya.
Beliau merupakan salah satu sosok dari beberapa tokoh tertentu yang mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Sekaligus, sosok pemimpin yang mencintai akan budaya, ahli strategi perang, kenegaraan serta perekonomian. Apakah hal demikian mampu menumbuhkan kebanggaan bagi masyarakat Banten sendiri? Lalu, bagaimana mengekspresikan kebanggaan tersebut terhadap kondisi Banten atau Indonesia hari ini?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang tidak untuk di jawab, melainkan untuk di renungi bersama dan saksama, khususnya bagi kaum muda.
Di tengah tekanan belenggu sistem kolonialisme dan imperialisme, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian lahir pada tahun 1631-1683 dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad dan Ratu Martakusuma. Sedari kecil, ia sudah bergelar Pangeran Surya. Lantas, dengan segenap keterampilan, kemampuan serta kecerdasannya, kemudian di usia 20 tahun ia di angkat menjadi seorang Sultan Muda bergelar Pangeran Adipati menggantikan kakeknya yang wafat di tahun 1651, yang akhirnya melanjutkan estafet kepemimpinan Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah.
Di rentang waktu 1651-1683 masa kepemimpinannya, perjuangan beliau sarat dengan nuansa perlawanan terhadap Belanda. Bermula, akibat dari tingkah “tidak tau diri” VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten. Selain dari pada itu, beliau juga dikenal sebagai sosok pemimpin yang amanah, egaliter, terbuka sekaligus visioner. Terlihat, dari beberapa langkah kebijakan yang ia tempuh, baik menyoal perdagangan, pertanian, maupun pendidikan. Dan yang paling mengagumkan, Kerajaan Banten di masa Sultan Ageng Tirtayasa mampu mencapai puncak kejayaannya, pelabuhan Banten sendiri waktu itu menjadi pelabuhan internasional, sehingga mampu mendorong kemajuan perekonomian. Semua bidang di tata dengan apik. Bahkan, militer kesultanan Banten juga di kenal sangat jemawa.
Lantas dari banyaknya pencapaian yang telah di raih, kesejahteraan rakyat tetap menjadi orientasi utama dalam kepemimpinannya, melalui penguatan simpul-simpul perdagangan. Kemudian, gagasan percetakan sawah-sawah baru serta pembangunan irigasi sebagai satu kesatuan kanal sistem pertanian, di prakarsai olehnya. Hal ini merupakan salah satu ciri tingginya nilai suatu peradaban, demi mendorong kedaulatan pangan. Tidak hanya berfokus di sektor perekonomian dan pertanian, Sultan Ageng juga turut mendorong perbaikan dalam bidang pendidikan, baik di lingkungan kesultanan sendiri maupun di masyarakat melalui kehadiran pondok pesantren. Salah satunya, dapat di buktikan dari bagaimana beliau mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar menjadi mufti kerajaan yang ditugasi untuk menyelesaikan urusan keagamaan sekaligus penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.
Selanjutnya, di masa kepemimpinan Sultan Ageng, Kesultanan Banten sangat terlibat aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak, di antaranya; Makassar, Bangka, Cirebon, Aceh, bahkan Inggris, India, Mongol, Turki, Arab, dsb. Maka tak heran, apabila pada saat itu Sultan Ageng di sebut-sebut mampu membawa kedaulatan politik dan ekonomi sehingga kesultanan Banten di segani oleh kerajaan lain maupun para penjajah. Kendati, Spirit Of Heroism Sultan Ageng Tirtayasa patut untuk kita pelajari, kita hayati dan kita teladani jejak kehidupannya.
Foster Confidence Pemuda
Sumpah, saya Pemuda! adalah bentuk keteguhan jiwa muda dalam ikhtiar pengobaran tekad, penguatan iktikad, serta semangat ijtihad guna menumbuhkan kembali spirit peremajaan diri. Hal ini merupakan salah satu ikhtiar demi menyembuhkan krisis kepahlawanan yang sedang di idap oleh kebanyakan anak muda zaman now, serta dalam upaya menekan culture manja atau aleman.
Di tengah kemudahan jejaring konektivitas, pemuda harus mampu mengisi ruang-ruang publik dengan suasana yang lebih produktif, bukan destruktif. Apalagi, hanya sekadar menjadi medium “curhat” tentang kegembiraannya, masalah hidupnya bahkan kegalauan mengingat mantan pacarnya. Lantas bukan berarti menyalahkan, cuman kurang greget. Pemuda kok lembek! Ini jelas dong, sebuah fenomena irasionalitas.
Pemuda yang di kenal nekat, tangguh serta tajam kewaskitaannya jangan sampai terbius narkoba keadaan “nyaman dan enak”, yang sebenarnya tidak menyehatkan jiwa dan pikiran. Maka, pemuda hari ini memerlukan sistem imunitas diri yang jauh lebih kuat, tak terkalahkan oleh berbagai bentuk, rupa maupun serangan “virus” mengerikan dari perubahan zaman. Suluh orisinalitas diri seorang pemuda harus terus di nyalakan. Sebab, kita musti meyakini bahwa setiap individu pasti di anugerahi potensialitas kelebihan. Maka, usia muda adalah kesempatan ideal untuk melatih keberanian, mengasah ketekunan serta menemukan kedirian.
Perlu juga di ingat, untuk menyongsong langit harapan bukan dengan pandangan optimisme yang buta, melainkan dengan pandangan optimisme mata yang terbuka. Pemuda harus cermat mengamati segala macam bentuk perubahan, memiliki daya adaptif yang luar biasa terhadap perubahan serta mampu menciptakan perubahannya sendiri.
Oleh karena, jiwa kepahlawanan harus pula di tumbuhkan semenjak dalam diri, bukan mengecap harap dari luar diri. Pemuda adalah benih pembaharuan yang di haruskan tumbuh dan berkembang secara mandiri melalui proses kreatif. Supaya, terbiasa berfikir inovatif dan solutif. Pada tiba saatnya, ia bisa memberikan keteduhan pada realitas sekitarnya, termasuk di dunia maya.
Meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib bahwa persebaran penyakit-penyakit sosial, disinformasi tentang pemahaman-pemahaman hidup, salah kuda-kuda mental, intelektual atau spiritual merupakan hasil dari pada pemikiran yang salah. Psikolog David D Burn mengatakan apabila seseorang atau bangsa mengalami depresi oleh belenggu pesimisme, daya hidup dapat di lumpuhkan oleh jeratan 4D; defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan), dan devrived (rasa tercerabut).
Begitulah, pentingnya suatu pandangan optimisme dengan mata terbuka, bahwa kegembiraan tidaklah datang sendiri tanpa pernah di jemput dan di usahakan. Dalam keramaian lalu lintas informasi (negatif) di media sosial, pemuda “di wajibkan” menumbuhkan jiwa kepahlawanan. Memang, menjadi pengguna media sosial tidaklah cukup sama sekali untuk membuat seseorang menjadi pahlawan. Tetapi, pembiasaan “menggerakan jari” untuk hal-hal positif adalah satu sikap kepahlawanan kemanusiaan yang tinggi. Ketimbang, mengikuti percekcokan dunia maya yang tidak produktif, bahkan kerap mengarah pada perilaku destruktif.
Alhasil, spirit of heroism Sultan Ageng Tirtayasa ialah satu dari banyaknya kisah kepahlawanan muda yang patut di teladani. Sebab, kisahnya mengandung semangat relevansi zaman. Begitupun, memaknai hari Sumpah Pemuda, suatu pelajaran sejarah tentang bagaimana anak-anak muda (ragam komunitas etno-religius) berjuang dalam mengarungi jalan terjal multi-seleksi, hingga akhirnya tampil sebagai penyintas. Satu momentum, yang memberikan pesan kepada setiap lintas generasi manusia Indonesia bahkan dunia, untuk selalu membesarkan jiwa dalam mengatasi kekerdilan kepentingan demi kebaikan hidup bersama.
Dalam
keterdesakan arus globalisasi yang tidak terbendung serta tidak bisa di
hentikan, di perlukan penguatan kembali konektivitas mental-kejiwaan kita
sebagai bangsa “Ber-bhinneka Tunggal Ika”. Pemuda zaman now harus melawan halusinasi narkoba perilaku manja atau aleman, karena pengaruh globalisasi
sangat memungkinan terjadinya berbagai macam kompleksitas permasalahan. Teringat
sebagaimana nasihat Shri Kresna kepada Arjuna yang tertuang dalam Baghavat Gita
“Kerjakanlah kewajibanmu, tanpa
menghitung-hitung akan akibatnya”. Kerjakan! Kerjakan! Pemuda!
[1] Kompas.com (15 Februari 2019). Selama 2018, Polisi Tangkap 122 Orang Terkait Ujaran Kebencian di Medsos (dikutip dari laman https://nasional.kompas.com/read/2019/02/15/15471281/selama-2018-polisi-tangkap-122-orang-terkait-ujaran-kebencian-di-medsos).
2] Yudi Latif, Mata Air Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan, Mizan, Bandung, 2014, hlm. XV.