Sabtu, Maret 25, 2023
Pendidikan Sebagai Komoditas Sang Penguasa

Dalam sejarahnya pendidikan telah merubah peradaban Dunia. Ini dibuktikan dengan adanya perkembangan teknologi yang secara tidak langsung menggeser mindset manusia dari yang tadinya berfikiran primitif menjadi modern. Pada awalnya, pemerakarsa kemajuan di bidang pendidikan ini adalah negara-negara yang ada di kawasan Persia yang ditandai dengan ditemukannya Aljabar oleh Al-Khawarizmi dan penemuan-penemuan lain setelahnya. Negara di Eropa baru memulainya ketika zaman reinasseces (Zaman Pencerahan) yang berlangsung pada abad ke 14 hingga abad ke 17 masehi. Terpaut sekitar 7 abad lamanya.

Reformasi Gereja yang di prakarsai oleh Martin Luther, Peter Waldo dan para reformis lainnyapun tidak lepas dari  gerakan pencerdasan. Reformasi Gereja berawal pada tahun 1517 ketika Martin Luther mengeluarkan 95 Dalil/Tesis untuk melawan praktik penyalagunaan indulgensi yang dilakukan oleh rohaniawan gereja. Martin dkk menyangkal bahwa paus memiliki yurisdiksi atas api penyucian untuk penghapusan dosa (indulgensi).

Di Indonesia ada banyak tokoh penggerak dalam upaya melawan kebodohan. Beberapa diantaranya yaitu R.A Kartini, R.A. Dewi Sartika, K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara—dengan slogan nya “Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, dan Ing Ngarsa Sung Tulada”. Karena berkat perjuangan mereka lah Bangsa Indonesia ini tercerahkan dari belenggu kolonialisme Belanda.

Pendidikan merupakan tonggak utama dalam mewujudkan suatu tatanan yang “memerdekakan“. Artinya pendidikan seharusnya digunakan bukan sebagai alat yang membelenggu ataupun mengekang masyarakatnya untuk berfikir secara bebas dan ilmiah.

Pendidikan pun seharusnya bisa diakses secara bebas tanpa ada batasan-batasan seperti pemungutan biaya pendidikan yang besar, jual beli bangku sekolah dan hambatan-hambatan lainnya—yang kita sebut ini sebagai praktik komersialisasi pendidikan. Praktik seperti ini sangat berbahaya. Karena, selain semakin membuat sulit diakses oleh masyarakat —khususnya masyarakat kelas bawah— praktik seperti ini pun akan menggeser pandangan pendidikan menjadi layaknya sebuah komoditas barang yang menguntungkan.

Pendidikan yang Ideal

Pada abad modern ini kita mempunyai seorang tokoh yang bernama Paulo Freire yang dengan tegasnya melawan praktik-praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi saat ini. Paulo Freire menulis beberapa buku yang bisa kita jadikan sebagai landasan berfikir untuk mengejawantahkan pemikiran-pemikiran yang bersifat paradoks. Beberapa contoh bukunya adalah Pendidikan Kaum Tertindas, Pedagogy of Freedom, The Politics Of Education dan masih banyak yang lainnya.

Menurut Paulo Freire Pendidikan seharusnya digunakan sebagai praktik pembebasan yang dimana hubungan antara guru dengan muridnya bersifat dinamis bukan bersifat monoton—guru menjelaskan murid lari kencing berdiri. Perlu adanya ruang dialektika antara guru dan murid dengan praktik open to subject and open to object. Karena dengan adanya ruang dialektika antara guru dan murid akan tercipta praktik pembelajaran yang objektif dan lebih mengedepankan nilai saling menghargai, saling belajar dan saling menghindarkan tekanan antara satu dan yang lainnya.

Ada beberapa analisis yang penulis dapatkan dari hubungan antara guru dan murid yang dikemukakan oleh Paulo Freire. Yang pertama yakni konsep pendidikan gaya bank. Konsep ini adalah konsep pendidikan dimana dalam suatu proses pembelajaran, guru berlaku sebagai sebuah ruang penyimpan yang telah terisi sedangkan murid-muridnya berlaku sebagai tempat penyimpanan kosong yang harus di isi. Konsep gaya bank ini secara tidak langsung melahirkan adanya kontradiksi yang berkepanjangan. Bahkan lebih dari itu, konsep gaya bank ini bisa menyebabkan kebekuan berfikir dan mematikan kesadaran kritis bagi si murid. Dalam hal ini, tentu saja konsep pendidikan gaya bank sangat tidak efektif karena mengekang kebebasan berfikir dan mengkebiri ruang kritis dari si murid. Konsep pendidikan ini akan sangat berbahaya, karenanya kita sebaiknya meninggalkan konsep pendidikan tersebut.

Yang kedua adalah konsep pendidikan hadap masalah. Dalam konsep ini pendidikan berorientasikan kepada pembebasan manusia yang menegaskan posisi dari manusia itu sendiri, yakni makhluk yang berada dalam proses “becoming”. Artinya sesuatu yang tidak pernah selesai dan terus menerus mencari.

Yang ketiga adalah konsep Kurikulum Pendidikan. Freire mengungkapkan bahwa kurikulum pendidikan seharusnya berisi pelajaran yang ditentukan bersama antara guru dan muridnya. Dengan kata lain, tidak boleh ada ruang yang membatasi antara guru dan murid dalam menciptakan metode pembelajaran yang efektif. Guru dan murid bersama-sama mencari solusi dalam menentukan arah pembelajaran agar tercipta pendidikan yang memerdekakan.

Yang ke empat adalah tujuan dari pendidikan itu sendiri. Menurut Freire tujuan dari pendidikan yaitu conscientizacao, konsientisasi dan penyadaran. Artinya perlu peningkatan untuk menuju kesadaran kritis sebagai fase kesadaran tertinggi dalam orientasi diadakannya pendidikan tersebut. Munculnya kesadaran kritis manusia tidak bisa dipisahkan dari proses dialektika yang sejati.

Pendidikan Sebagai Komoditas

Sebelum masuknya feodalis dan produk imperialis kapital asing—bahkan jauh sebelum bumi Nusantara ini di kolonialisasi oleh Belanda—sentuhan penindasan dalam dunia pendidikanpun sangat terasa ketika era kerajaan yang dimana pada saat itu pendidikan hanya bisa dinikmati oleh golongan bangsawan dan anggota keluarga kerajaan saja. Sedangkan masyarakat golongan proletariat hanya mendapatkan pendidikan ala kadarnya. Ini merupakan pen dikotonomian sejak dalam pikiran. Oleh karenanya tidak jarang masyarakat kelas bawah ini di bodohi oleh Sang Penguasa.

Kenapa seperti itu? Karena tidak adanya ruang umum yang demokratis dan ilmiah yang bisa mendorong kreativitas masyarakat untuk mampu berfikir dan membuat perubahan. Itulah mengapa masyarakat pada saat itu minim kreativitas untuk membuat suatu perubahan. Karena tidak adanya fasilitas pendidikan yang baik yang diberikan sang penguasa untuk mencoba menciptakan tatanan masyarakat yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial dan budaya.

Jika kita lihat hari ini pendidikan di Indonesia bukanlah sebuah ruang kebebasan dan labotarium untuk mengolah buah hasil pemikiran kita yang bersifat ilmiah. Pendidikan saat ini sudah berganti alih menjadi sebuah komoditas bagi sang penguasa negeri—layaknya sebuah barang dagangan. kenapa seperti itu? Apa yang membuat ruang pendidikan kita hari ini menjadi ruang yang mengikat pada kepentingan sang penguasa negeri?

Krisis moneter yang terjadi tahun 1998 merupakan awal mula terjadinya komersialisasi pendidikan di Indonesia. Hal itu terjadi karena ketika krisis keuangan asia melanda hampir di seluruh negara-negara yang ada di Asia Timur, Indonesia diharuskan untuk segera membuat kebijakan-kebijakan strategis yang membuat Indonesia bisa terbebas dari krisis tersebut.

IMF merupakan lembaga keuangan dunia yang siap membantu Indonesia pada saat itu. IMF bersedia untuk membatu pemulihan perekonomian Indonesia—yang berupa pinjaman uang—dengan satu syarat. Yaitu setiap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia dalam upaya pemulihan perekonomiannya diharuskan semua kebijakan tersebut berasal dari formulasi yang telah dibuat oleh IMF. Dalam perjanjian tersebut dituliskan bahwa dalam pumulihan perekonomiannya, Indonesia diharuskan untuk membuka kran investasi dari negara-negara besar untuk bisa membuka bisnisnya di Indonesia termasuk dalam dunia pendidikan.

Amanat yang tertera dalam konstitusi kita yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan kemudian diperjelas dalam turunannya “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Semangat konstitusi tersebut berkontradiksi dengan implikasinya yang lebih menekankan bahwa pendidikan sebagai ladang komersial yang digunakan untuk menyokong komoditas di belakang nya.

Dengan dalil beasiswa dan kerjasama yang mengkooptasikan orientasi pendidikan yang sudah diamanatkan oleh undang-undang secara tidak langsung memaksa mereka yang membutuhkan biaya untuk menempuh pendidikan harus menggadaikan idealisme yang ada dalam pikirannya. Sehingga mereka yang tergabung dalam program beasiswa tersebut secara langsung telah dipagari oleh hantu korporat laknat.

Pemberian beasiswa bukan solusi bagi upaya negeri ini untuk memajukan pendidikan. Pendidikan yang memajukan bukanlah dengan memberikan beasiswa yang mematikan akal rasionalitas berfikir kritis mereka. Tetapi pendidikan yang memajukan yaitu pendidikan yang memberikan setiap manusia dapat berfikir secara universal tanpa dibayangi oleh rasa takut putus sekolah, kekurangan biaya atau yang lainnya.

Anggaran APBN dan APBD seharusnya sudah cukup untuk membiayai pendidikan yang bebas dari komoditas korporasi di belakangnya. Dengan semakin banyaknya produk-produk beasiswa seperti Sampoerna Foundations, Djarum Foundation, Generasi Bank Indonesia dan yang lainnya, semakin menjelaskan juga bahwa monopoli atas pendidikan dan komersialisasi dalam dunia pendidikan tidak terkelakan.

Pemerintah seharusnya dapat memberikan solusi untuk permasalahan ini. Salah satunya adalah dengan pengaturan kembali regulasi pembiayaan beasiswa dari pihak swasta besar. Hal ini penting dilakukan karena terkadang ada beberapa beasiswa yang mengharuskan para penerima beasiswa tersebut untuk lulus cepat. Jika tidak, mereka diharuskan untuk mengganti kerugian si pemberi beasiswa tersebut­—dengan tambahan bunga pinjamannya.

Praktik pembiayaan beasiswa seperti ini tentu akan membuat kita semakin terikat dan membuat kita menjadi “buruh komoditas penguasa” dan budak di sebuah korporasi.

Pusaran ini akan terus terjadi hingga pendidikan sejati yang menpertajam kecerdasan, memperhalus perasaan dan memperkukuh keinginan bukan hanya utopia semata.

 

“Pendidikan Adalah Senjata Utama Untuk Melawan Kebodohan” – Nelson Mandela.

Tags:

Related Article

No Related Article

0 Comments

Leave a Comment

Kategori

  • Esai (34)
  • Kabupaten Pandeglang (23)
  • Kota Cilegon (1)
  • Resensi (4)
  • Sastra (9)
  • Tokoh (2)
  • Unique (8)
  • Ikuti Kami!

    %d blogger menyukai ini: