Banten, wilayah dengan seribu ulama kharismatik, sejuta santri dan ratusan jawara yang membentuk daerah ini begitu istimewa sejak zaman Kolonial Hindia-Belanda hingga Jepang. Tidak! Jauh sebelum zaman itu Banten sudah memiliki peradaban yang maju. Hal tersebut terpampang jelas dengan hadirnya mata uang Kerajaan Banten yang sudah ada sejak abad ke-14 yang bernama “Gobog Banten”.
Dengan melihat fakta yang ada seyogyanya Banten sudah berada pada tingkat kemajuan yang tinggi saat ini. Namun faktanya, tingkat pengangguran di Banten masuk dalam kategori tertinggi pada tahun 2018. Mengalahkan provinsi-provinsi lainnya yang ada di Indonesia.
Indeks Pembangunan Manusia —yang menggambarkan harapan hidup dan lamanya bersekolah— masih tertahan pada angka 70% yang artinya setiap anak yang ada di Banten hanya mampu bersekolah maksimal pada tingkat kelas 3 SMP. Belum lagi jika kita baca variabel–variabel ekonomi lainnya, Banten masih berada dalam kategori daerah tertinggal di Indonesia.
Lalu apa yang membuat “prestasi tertinggal” ini terus hinggap di Banten ? Apa yang salah? Pasti ada satu faktor cukup kuat di hulu sana yang membuat Banten seperti ini.
Tapi tunggu, sebelum kita berlanjut, apakah kamu merasa bahwa dirimu tidak separah gambaran data-data di atas? Maksudku Kamu saat ini masih bisa membeli makanan dengan harga yang cukup mahal di beberapa restoran unik yang ada di Banten. Atau dalam memenuhi kebutuhan data internet mingguan, Kamu masih sangat mudah untuk mendapatkannya. Bahkan, mungkin saat ini kamu sedang duduk manis di bangku kuliah dan mendengarkan ceramah dosen-dosen Mu dalam ruangan yang nyaman dan sejuk.
Tentu, apa yang Kamu rasakan saat ini sangat bertolak belakang dengan data diatas bukan? Lantas apa yang salah?
Dengan tingkat nalar Kamu yang sudah cukup tinggi —walaupun Kamu bukan seorang ekonom— Kamu pasti sudah tahu dan sepakat bahwa faktor hulu dari pengangguran dan indeks pembangunan manusia yang rendah adalah faktor pendidikan. Kualitas pendidikan yang rendah lebih tepatnya.
Namun, sebelum Kamu menyalahkan pemerintah atas “prestasi ketertinggalan” kita saat ini, ada satu hal yang paling mendasar yang tidak Kamu, Aku, dan Kita miliki sampai saat ini, yakni kepedulian: sebagai roda penggerak.
Disadari ataupun tidak banyak dari data lancung tersebut disebabkan karena tingkat partisipasi pendidikan yang rendah. Bahkan jika ada sebagian dari mereka yang bisa mendobrak batas 8 tahun pendidikan—itupun pasti dengan tergopoh-gopoh— hal tersebut tidak diikuti dengan peningkatan keterampilan (softskill) yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Karena hal tersebutlah kemudian membuat mereka masuk ke generasi pengangguran terbuka selanjutnya. Dan begitu seterusnya hingga akhir zaman.
Lalu, dimana sebenarnya Kamu? Generasi eksis yang memiliki banyak keahlian dan mampu beradaptasi cepat dengan teknologi canggih saat ini. Skill desain grafismu akan bertambah indah bila ada desainer–desainer lain yang lahir sebagai anak didikmu. Public Speaking Mu yang mantap juga seyogyanya bisa dimiliki oleh mereka ketika momen interview beasiswa di PTN/PTS tiba. Bahkan Jurusanmu cukup legal untuk menjadi seorang tutor mata pelajaran SBMPTN untuk mereka yang kurang mampu. Dimanakah Kamu, Aku atau Kita saat ini?
Andai saja kita bisa berkumpul bersama, bertatapmuka dan saling berbicara—iya, bertemu secara langsung. Bukan membuat sebuah grup whatsapp, mentionan di twitter atau dm-dman di medsos lainnya. Membicarakan hanya satu permasalah ini.
Kita seleksi para siswa-siswi kurang mampu yang berprestasi dari seluruh penjuru Banten. Kita asramakan mereka satu bulan penuh untuk saling mengenal dan belajar Bersama. Kamu ajak sahabat-sahabatmu untuk menjadi tutor terbaik bagi mereka dan Aku akan mengajak dosen atau guru-guruku untuk mengarahkan mereka. Lalu Kita umumkan kepada followers Mu bahwa kita butuh mahasiswa-mahasiswa bimbingan konseling untuk menjadi relawan konsultasi jurusan yang mereka inginkan,
Bahkan biarkan para Psikolog, Polisi, Tentara, Banker, Politisi, Dokter dan pekerjaan mulia lainnya datang karena mereka tahu kita sedang berkumpul bersama siswa–siswi berprestasi yang sedang mencoba membuka mimpi mereka. Memberi secerca kalimat motivasi dari para profesional sangatlah berarti bagi mereka.
Sesederhana itulah generasi milenial dapat mengubah Banten dengan teknologi dan keahlian disrupsinya. Semuanya akan berubah perlahan dengan satu kunci, yakni: Aku, Kamu dan Kita Peduli.