Beberapa pekan yang lalu Warganet sangat gaduh sekali membicakan tentang KH. Yahya C Staquf (Gus Yahya) yang pergi berkunjung ke Yerusalem untuk menghadiri sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Independen Yahudi. Mereka beranggapan bahwa Gus Yahya sudah tidak pro terhadap pejuangan rakyat Palestina karena ingin menghadiri acara tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang sampai berkata bahwa Gus Yahya telah mendukung Zionis Israel. Kenapa bisa seperti itu yah, padahal acara ini diselenggarakan oleh Organisasi Independen dan acaranya sendiri hanya sebuah diskusi terkait perdamaian bukan sebuah perjanjian dsb. Diskusinya pun diskusi Ilmiah bukan diskusi ecek-ecek.
Dari tema acaranya saja sudah jelas “Pergeseran dari Konflik ke Kerja Sama”. Artinya, jika kita terjemahkan menjadi sebuah perbincangan anak kecil yang sedang bermusuhan (agar mudah dimengerti) kira-kira “Aku udah capek nih berantem terus, masa kamu gak capek sih? Ayo lah kita damai aja, daripada berantem mending kita main bareng” Kira-kira seperti itu.
…
Ada juga sebagian orang yang mengecam Gus Yahya karena menganggap Beliau mengunjungi Israel. Disaat seperti ini kok bisa-bisanya yah Gus Yahya pergi ke Israel, memang dia tidak tahu Israel sudah menyerang Rakyat Palestina?. Mungkin kira-kira seperti itu gerutu mereka. Menurut saya ini adalah kesalahan berfikir yang sangat fundamental. Kenapa? Karena Gus Yahya hanya berkunjung ke Yerusalem dan kitapun sudah sepakat bahwa Yerusalem itu adalah tanah (dan akan tetap menjadi tanahnya) Bangsa Palestina.
Bukankah tempo lalu kalian telah menentang habis-habisan klaim sepihak Pemerintah Amerika Serikat atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel? Jika memang seperti itu kenapa saat ini kalian harus meributkan kedatangan Gus Yahya yang mau berkunjung ke Yerusalem. Bahkan sampai membuat sebuah narasi bahwa Gus Yahya pergi mengunjungi Israel seolah-olah kalian telah mengaminkan Klaim Amerika Serikat atas Yerusalem.
Jadi, sebenarnya yang mengkhianati perjuangan Rakyat Palestina disini itu siapa? Orang yang mengunjungi tanah Palestina untuk berdialog dan menawarkan sebuah solusi perdamaian atau orang yang menganggap tanah yang dikunjungi itu adalah tanah Israel?
Lalu untuk apa kalian kemarin melakukan aksi di Kedubes AS dan update #SaveYerusalem, #SaveYerusalem di media sosial. Perjuangan kalian kok setengah-setengah?
…
Memaknai sebuah perjuangan jangan lah selalu memandang dengan kacamata hitam putih. Perjuangan tidak harus selalu bertempur di medan perang. Bahkan salah satu pemilik ‘saham’ terbesar di Palestina sendiri, yakni Fatah, memiliki corak perjuangan yang berbeda dengan Hamas.
Jika di Ibaratkan di Indonesia, Fatah itu adalah kelompoknya Sukarno, Hatta, Sjahril dan kawan-kawan lainnya yang berjuang melalui perundingan diatas meja dan dialog. Sedangkan Hamas adalah Jendral Sudirman, Bung Tomo dan semua orang yang memperjuangkan kemerdekaan dengan menggunakan senjata. Cuma, sayangnya Indonesia dengan Palestina itu Berbeda.
Di Indonesia dua faksi dengan corak perjuangan yang berbeda ini dapat bersatu dan saling melengkapi satu sama lainnya. Sedangkan di Palestina justru malah sebaliknya, kedua kubu saling menyalahkan dan saling ‘menyerang’ satu sama lainnya. Hamas terkadang ‘menyerang’ Fatah karena dianggap perjuangan Fatah itu lembek. Fatah pun demikian dengan argumentasinya sendiri.
…
Warganet Indonesia sendiri seperti terpolarisasi menjadi dua kubu diatas. Fatah dan Hamas. Cuma, sayangnya kubu yang coraknya sama dengan Hamas lebih dominan daripada kubu yang coraknya sama dengan Fatah. Contohnya bisa kita lihat sendiri di tweetwar- tweetwar atau komentar-komentar warganet di media daring yang menyiratkan bahwa perjuangan itu harus berdarah-darah. Perjuangan tidak bisa dengan mendekati orang-orang Yahudi. Berdialog dan berdiskusi dengan mereka itu sangat tidak boleh. Ini sangat Hamas sekali.
Melihat pola pemikiran Warganet Indonesia yang seperti itu jika dalam kehidupan kampus mungkin sama halnya dengan mahasiswa yang beranggapan bahwa menuntut pemerintah itu harus dengan cara berdemonstrasi. Melakukan aksi di jalanan. Dan ketika melakukan aksi, akan terasa kurang afdol jika tidak ribut dengan Polisinya. Padahal, demonstrasi seperti itu sudah tidak relevan jika diterapkan pada zaman sekarang dan bisa diganti dengan cara berdialog -kecuali jika sudah ultimum remedium. Berbicara dalam sebuah forum dengan menggunakan bahasa yang argumentatif disertai data dan solusi. Kalau kaya gitu kan lebih berkelas. Ke intelektualannya terlihat.
Oh iya, selain dua faksi di atas tadi Palestina juga memiliki faksi perjuangan lain yang lebih kecil seperti KPR, Partai Komunis Palestina, Jihad Islam dll. Corak perjuangan mereka juga berbeda-beda. Cukup kompleks jika dijabarkan dalam artikel pendek ini.
Balik lagi pada Palestina.
Palestina sendiri seharunya belajar kepada Indonesia tentang makna perjuangan yang sesungguhnya. Tentang bagaimana memperjuangkan kemerdekaan itu harus bersama-sama dan gotong-royong. Tidak boleh terpisah. Saya sendiri beranggapan bahwa sebenarnya Palestina tidak kunjung mendapatkan kemerdekaannya bukan karena mereka lemah. Akan tetapi, karena tidak solidnya Bangsa Palestina yang berjuang dengan corak perjuangan yang berbeda-beda tadi.
Menurut hemat saya biarkan lah kebenaran tentang cara berjuang itu ada pada kepala/organisasi masing-masing. Namun ketika menyangkut masalah bersama. Tentang Bangsa dan Negara yang harus segera merdeka, yang dikedepankan adalah kebaikan bukan kebenarannya. Karena sebenarnya kebenaran manusia itu sifatnya zhanni (manifestasi atau pengira-ngiraan dari akal -red).
Saya sendiri tidak akan memaksa pembaca yang budiman sekalian untuk percaya dengan apa yang saya tulis. Karena yang saya tulis ini belum tentu sebuah kebenaran, bisa saja sebuah kesesatan. Cuma saya menganggap bahwa zhanni saya ini baik. Jadi saya bagikan.
Hal serupa pun (saya khusnuzon) dilakukan oleh Gus Yahya tentang bagaimana agar kedua negara itu bisa berdamai dari konflik yang berkepanjangan. Dalam forum tersebut Gus Yahya berkata bahwa “obat macam apapun tidak akan bisa menyembuhkan pasien diabetes atau jantung, selama si pasien tidak mau mengubah gaya hidupnya”. Palestina dan Israel tidak akan pernah berdamai jika keduanya masih bertujuan untuk saling menundukan satu sama yang lainnya.
“Selama ini kita selalu terlibat dalam konflik untuk memperebutkan barang, sumber daya, kekuasaan, apapun itu, dengan tujuan untuk mengalahkan pihak lain. Dan pada akhirnya, kita bahkan tidak mampu lagi membedakan bagaimana konflik ini bermula, dan bagaimana seharusnya konflik ini diselesaikan. Bagi saya, yang tersisa saat ini adalah sebuah pilihan. Sebuah pilihan mendasar yang bisa memberi kita solusi nyata. Pilihan itu adalah apa yang kita sebut dalam Islam sebagai Rahmah. Rahmah berarti kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama”.
Dalam zhanni-nya Gus Yahya Rahmah adalah sebuah pilihan yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik antara Israel dan Palestina. Menurut yang lainnya (termasuk para pembaca sekalian mungkin) belum tentu Rahmah adalah sebuah pilihan yang tepat. Perang, penyatuan negara secara paksa, embargo ekonomi, pemboikotan produk Israel, atau yang lainnya bisa jadi adalah sebuah pilihan yang tepat. Cuma sayangnya, pilihan-pilihan tersebut sudah kita coba dan terbukti gagal dan tidak membuahkan hasil apapun. Oleh sebab itu kenapa kita tidak coba untuk menggunakan solusi yang ditawarkan oleh Kiyai dari Indonesia ini? Masalah hasilnya seperti apa itu belakangan. Toh ada pepatah juga kan yang mengatakan bahwa “Banyak jalan menuju Roma”. Banyak cara untuk menyelesaikan konflik Israel dan Palestina.
Sebagai penutup, bersuara dalam sebuah forum yang besar dengan memberikan sebuah gagasan dan pilihan itu jauh lebih baik daripada duduk di rumah sambil mantengin medsos terus update status pake tagar #SavePalestina. Lalu, kalau ada siaran video atau foto-foto korban bom di Palestina (yang padahal belum tentu itu di tempat kejadian) ikut mencaci maki, menghardik dan mengutuk -atau jika disuruh komen aamiin oleh adminnya ikut-ikutan komen aamiin.