Sangat jarang orang yang seumuran dengan Kita saat ini ーfase remaja menuju dewasaー ketika kumpul bersama membicarakan perihal cita-cita. Kebanyakan dari kita mungkin sudah membuang jauh-jauh apa yang dulu pernah dicita-citakan, membunuhnya, menguburnya dalam-dalam lalu melupakannya untuk selama-lamanya.
Cita-cita ketika kecil sebenarnya memang bukanlah suatu hal yang sulit untuk dicapai. Asalkan syarat dan ketentuan yang berlakunya terpenuhi. Diantara syarat dan ketentuan tersebut adalah; Pertama Kemampuan dasar, yang berkaitan dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki; Kedua lingkungan, yang secara sadar atau tidak sadar karakter kita lebih banyak dibangun oleh faktor ini; Ketiga privilege atau hak istimewa yang dimiliki, yang bisa jadi merupakan faktor kunci dari dua faktor sebelumnya.
Oleh karena itu sangat relevan apa yang ditemukan oleh The SEMERU Research Institute ーbekerjasama dengan ADBI Instituteー dalam penelitiannya yang berjudul ”Effect of Growing up Poor on Labor Market Outcomes: Evidence from Indonesia” yang menguraikan kenapa 87% anak-anak dari keluarga miskin ketika dewasa memiliki pedapatan lebih rendah dari anak-anak yang terlahir dari keluarga kaya. Penelitian ini memperhitungkan lama pendidikan, kemampuan kognitif anak hingga kesehatan. Dari penelitian tersebut kita dapat memperoleh sebuah kesimpulan bahwa menjadi anak yang terlahir dikeluarga miskin memiliki dampak negatif terhadap penghasilan setelah dewasa atau bahasa lebih sederhananya “anak yang terlahir miskin, akan tetap miskin ketika dewasa”. Hal ini tentu dapat dengan mudah kita pahami karena perkembangan hardskill dan softskill yang kita miliki berbanding lurus dengan seberapa lama jenjang pendidikan yang telah kita tempuh dan seberapa banyak bacaan yang telah kita baca.
Kita tahu bahwa harga sebuah buku, seminar atau les di Indonesia jauh lebih mahal daripada sebungkus nasi beserta laukpauknya. Sangat mudah bagi orang tua miskin untuk menunda asupan pengetahuan bagi anaknya demi memperoleh sebuah makanan. Lagi-lagi privilage atau hak istimewa merupakan sebuah hak yang hanya dimiliki oleh mereka yang beruntung.
Finansial memang bukan segalanya untuk mencapai sesuatu. Akan tetapi, kemudahan finansial bisa membuat kita jauh lebih mudah mendapat akses pendidikan dan pengetahuan yang bisa membuat kita jauh lebih berkembang tanpa harus memikirkan besok harus makan apa.
Seorang anak tidak akan dibuat stress karena memikirkan beban orangtuanya ketika dia tetap ngotot untuk mengejar cita-cita yang dia inginkan. Dia akan lebih fokus dan santai.
Pada akhirnya kesuksesan untuk menggapai cita-cita bukanlah barang murah yang bisa didapatkan oleh semua orang. Cita-cita hanya dimiliki oleh mereka yang tidak perlu memikirkan uang. Cita-cita hanya dimiliki oleh mereka yang tidak pernah memilkirkan harus habis berapa juta untuk masuk di sekolah yang bonafit, harus berapa puluh juta agar masuk ke Fakultas Kedokteran untuk menjadi seorang dokter atau berapa puluh juta untuk masuk Sekolah Penerbangan dan menjadi seorang pilot.
Oleh karena itu janganlah kalian mengatakan
“Putri Tanjung umur 23 tahun sudah menjadi Staf Ahli Presiden, kalian sudah ngapain?“
“Wirda Mansur umur 18 tahun sudah menjadi direktur perusahaan, kalian sudah ngapain?”
Karena mereka memiliki privilege yang tidak dimiliki oleh sebagian besar dari kita.
Dan jangan juga kalian membandingkan kesuksesan dari orang-orang yang terlahir miskin seperti Chairul Tanjung, Dahlan Iskan dan yang lainnya. Karena, kesuksesan mereka hanyalah satu dari sekian juta penduduk Indonesia yang lahir dari keluarga miskin dan berakhir dengan miskin.