MENARIK itu lah kata-kata yang tepat ketika beberapa hari yang lalu pemerintah mengumumkan perppu tentang organisasi masyarakat. Setelah sebelumnya masyarakat mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk membubarkan organisasi-organisasi radikal (contohnya: HTI?) akhirnya nampak dengan jelas di hadapan kita ‘sebuah senjata’ yang akan membuat organisai-organisasi radikal ini kelabakan.
Dalam hierarki perundang-undangan perppu ini memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang. Akan tetapi pemerintah sendiri tidak dapat sembarangan mengeluarkan sebuah perppu. Karena, perppu sendiri boleh dikeluarkan oleh pemerintah (melalui teken presiden) hanya dalam ihwal yang genting dan memaksa saja. Dalam kasus ini tindakan pemerintah sangat lah tepat sekali untuk dengan segera mengeluarkan perppu ini.
Kenapa?
Karena saat ini -terkhusus di dalam masyarakat sendiri- mulai menyeruak kembali kontestasi wacana tentang Pancasila. Ormas-ormas yang ada di masyarakat pun saling berebut opini publik. Antara yang pro-Pancasila dan yang anti terhadap Pancasila. Akibatnya tidak jarang konflik horizontal terjadi dalam masyarakat karena mereka mempunyai tafsir-tafsir yang berbeda tentang Pancasila.
Ideologi.
Lagi-lagi persoalan ideologi yang menjadi perdebatan. Berbicara tentang ideologi negara, harusnya sudah selesai kita dengan Pancasila. Kenapa? Karena walaupun -saya akui- memang realisai Pancasila belum sepenuhnya terlaksana terlebih yang menjadi sorotan adalah Pancasila Sila Kelima yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” akan tetapi Pancasila sendiri sudah terbukti mampu menyatukan keberagaman yang ada di Indonesia dan ia mampu berdiri di antara dua ideologi besar dunia. Kapitalisme dan komunisme. Bukankah kita tahu benar bahwa persatuan dan semangat gotong royong lah yang akan membuat bangsa ini maju?
Memang sangatlah wajar saat ini masyarakat mewacanakan kembali tentang Pancasila, terlebih setelah banyaknya organisasi transnasional masuk ke Indonesia. Dengan membawa sebuah konsepan negara yang begitu romantis, organisasi transnasional ini membuat masyarakat Indonesia bergeming ingin merasakannya. Sebuah negara yang sejahtera dan tanpa kemiskinan. Siapa yang tidak mau? Apalagi dengan dibumbui embel-embel “islam secara kaffah” dan ajaran-ajaran lainnya yang sangat berbau dogmatis. Terang saja masyarakat awam terperdaya. Sebenarnya masyarakat sendiri tidak sadar bahwa konsepan negara yang dibawa oleh organisasi-organisasi luar ini sesungguhnya adalah sebuah kotak pandora.
Bagai kotak pandora tadi konsepan-konsepan negara dari luar ini tidak lah akan cocok di Indonesia. Karena, jika sampai kotak itu di buka disini maka perpecahan, peperangan dan pembunuhan sudah lah pasti terjadi. Tinggal kita hanya bisa melongo sambil menyesal ketika kita melihat teman atau mungkin keluarga kita sendiri digorok lehernya di depan mata kita sendiri.
Baca Juga: Ibnu Muljam Saat Ini
Itulah mengapa perppu ini sangat genting untuk segera dikeluarkan. Selain itu ulama-ulama sepuh NU dan belasan organisasi islam lainnya -minus Muhammadiyah- pun mendukung kebijakan pemerintah ini. Apa lagi yang harus di permasalahkan? Bukankah kita harus mengikuti ulama?
Janganlah takut pemerintah akan melakukan perbuatan yang semena-mena seperti rezim otoritarianisme Orde Baru, yang menjadikan Pancasila sebagai tameng kekuasaannya. Karena, selain masih adanya mekanisme pembubaran yang cukup kompleks, NU sendiri akan tetap mengawal tindakan-tindakan pemerintah agar tidak keluar dari jalur yang semestinya. Kita sendiri harus bisa percaya kepada NU dan kaum muslim moderat lainnya karena mereka sudah terbukti mampu mengawal dan melindungi NKRI ini. Bahkan NU sudah memulainya sebelum NKRI ini ada.
Jika kita melihat kembali lembaran sejarah bangsa ini, demi memperebutkan opini publik sandiwara saling depak dan saling sikut antar golongan di Indonesia sudah lah sering terjadi. Kita tahu benar bahwa sekitaran tahun 1955-1959 di antara kubu Islam, Kristen, Nasionalis, Komunis dan sosialis terjadi pedebatan sengit dalam sidang-sidang konstituante terkait dasar apa yang harus di gunakan untuk negara ini.
Tak ayal perdebatan demi perdebatan yang berlangsung selama 4 tahun tersebut tidak membuahkan hasil apapun, semuanya tetap gigih dan mempertahankan pendapat mereka masing-masing. Bahkan selama kurun waktu empat tahun tersebut, telah terjadi pergantian perdana menteri sebanyak tujuh kali. Ini terjadi karena ketika ada satu kubu yang berkuasa maka kubu yang lainnya akan menjadi oposisi dan berusaha untuk menjatuhkannya. Alih-alih mencari kekuasaan, para politikus pun lebih senang mencari kesalahan dan saling serang satu sama lainnya daripada merencanakan pembangunan negara ini bersama-sama.
Perdebatan selesai ketika Sukarno melihat tidak ada kemajuan sedikitpun dalam sidang-sidang konstituante yang pada akhirnya Sukarno sendiri mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden untuk membubarkan Konstituante dan dasar negara kembali lagi ke UUD 1945.
Imbasnya setelah dekrit tersebut banyak kemajuan yang terjadi di Indonesia. Seperti misalnya mega proyek mercusuar Soekarno yang telah membuat begitu banyak bangunan-bangunan mewah pada zamannya. Misalnya seperti Komplek Olahraga Senayan, Monas, Gedung MPR dan DPR, Waduk Jatiluhur dan masih banyak bangunan lainnya yang masih bisa kita rasakan sampai sekarang ini.
Dari sejarah ini kita bisa belajar bahwa sangat jelas debat mempertanyakan kembali dasar negara (berdasar ideologi apa) tidak akan membuat negara ini maju. Karena semuanya pasti akan menghabiskan waktu dan tenaganya dengan percuma hanya untuk berdebat dan saling serang satu sama lainnya.
Saya sendiri sangat salut pada Pemerintahan Jokowi JK. Di tengah situasi politik yang saat ini begitu carut-marut, beliau-beliau ini mampu untuk bisa meneropong jauh kedepan. Mereka melihat dengan jelas bahwa ormas-ormas radikal ini akan menghambat Indonesia untuk maju.
Seperti dalam sebuah medan perang, saat ini pemerintah RI sedang bersiap untuk melakukan perang secara terbuka dengan organisasi radikal. Perppu ini seperti sebuah senjata rudal balistik yang sangat di takuti oleh musuh. Senjata utama yang akan menghancurkan musuh dengan sangat mudah.
Tapi dalam posisinya saat ini sebagai panglima perang, Jokowi harus lah tetap hati-hati dalam mengeluarkan strategi perangnya. Akan lebih aman jika Jokowi menyimpul massanya terlebih dahulu atau menggunakan rudal balistik ini setelah Pilpres 2019 nanti.
Mengutip perkataan Adolf Hitler “Perang adalah seperti membuka pintu di ruangan gelap, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi”.
Jika saat ini pemerintah langsung menyerang ormas-ormas radikal dengan rudal balistiknya maka besar kemungkinan di 2019 nanti lawan-lawan politik Jokowi akan memanfaatkan ormas-ormas yang sakit hati ini untuk menyerangnya nanti. Tidak bisa dikatakan sembarangan kekuatan massa mereka. Di perhelatan Pilgub DKI kemarin pun seharusnya kita bisa melihat sedikit banyaknya dengan jelas gambaran Pilpres 2019 nanti. Dengan sokongan dana unlimited dari lawan Jokowi dan asing -yang berkepentingan- maka kita bisa membayangkan bagaimana perang besar yang akan terjadi nanti.
Menjadi Jokowi tidaklah mudah, selain dia harus tetap fokus untuk terus melakukan percepatan pembangunan yang sudah jauh tertinggal oleh negara-negara lain, dia juga harus bisa menggebuk pemikiran-pemikiran radikal dari tanah pertiwi ini tanpa harus mengorbankan diri pada Pilpres 2019.
Lalu bagaimana selanjutnya? Akankah Jokowi membuka pintu gelap itu saat ini -yang bisa saja menjatuhkannya- atau dia akan membukanya nanti setelah Pilpress berlangsung.
Kita lihat saja nanti strategi perang Sun Tzu-nya Jokowi.