Secara etimologis politik berasal dari Bahasa Yunani yaitu polis yang dapat diartikan sebagai kota atau negara kota. Kemudian arti itu berevolusi menjadi polites yang berarti warga negara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan suatu negara di dalamnya, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Aristoteles (384-332 SM) merupakan orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut Zoon Politicon. Dengan istilah tersebut Aristoteles ingin mendevinisikan mengenai hakikat kehidupan sosial yang dimaksud politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Dengan demikian kata politik berfrasa kepada suatu aspek kehidupan, yakni kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur Negara (state), kekuasan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Politik dapat diartikan sebagai pengambil keputusan baik bersifat tertulis ataupun tidak tertulis untuk mencapai suatu tujuan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Johan Kaspar Bluntschli dalam buku The Teory of the State menjelaskan bahwa “Ilmu politik adalah ilmu yang memerhatikan masalah kenegaraan dengan memperjuangkan pengertian dan pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya dalam berbagai bentuk atau memanifestasikan pembangunan”
Dalam konteks politik tersirat sebuah narasi poitik atau bisa kita katakan sebagai “komunikasi politik” yang dimana di dalam komunikasi politik tersebut terdapat makna yang dapat dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dengan “yang terperintah”. Terdapat beberapa macam tipe komunikasi politik yang sering kita dengar yaitu: Pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener). Pembicara dalam konteks komunikasi politik bisa kita —sebagai seorang orator tangguh— yang memberikan sebuah informasi mengenai perkembang politik yang ada disebuah negara. Contohnya yaitu Presiden, Menteri, Anggota DPR, Politisi dan kelompok-kelompok penekan dalam masyarakat yang mampu mempengaruhi pikiran massa di dalamnya. Pesan dapat kita simpulkan sebagai suatu statement atau pernyataan yang disampaikan kepada masyarakat, bisa bersifat tertulis ataupun tidak tertulis. Contohnya seperti pidato politik, pernyataan politik, buku, media elektronik, surat kabar dan yang lainnya. Pendengar bisa kita kategorikan sebagai sasaran yang dapat memberikan dukungan dalam bentuk pemberian suara kepada partai atau kandidat dalam pemilihan umum contohnya yaitu pengusaha, pemuda, buruh, mahasiswa dan masih banyak yang lainnya.
Menurut Aristoteles inti dari komunikasi adalah persuasi dan pengaruh yang dapat dicapai oleh seseorang yang dipercaya oleh publik. Persuasi dapat dicapai melalui pengenalan terlebih dahulu diri anda kepada masyarakat luas. Dengan argumen anda (logos-logika dalam pendapat anda) dan dengan memainkan emosi khalayak (pathos-emosi khalayak). Faktor ini semua dapat ditentukan melalui pidato, susunannya dan cara penyampaiannya.
Jika kita tarik dalam situasi tahun politik di Indonesia saat ini. Dimana akan ada pemilihan legislatif (anggota DPR) dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) sangatlah tepat jika kita masukkan unsur-unsur yang ada di atas. Dalam upaya meyakinkan masa untuk dapat memilihnya para calon akan melakukan komunikasi politik yang bersifat indoktrinisasi yang dimana para calon ini akan mencoba memasuki permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat dan cenderung akan mendukung permasalahan tersebut dengan pembuatan statement bahwa ia akan bersama-sama dengan mereka untuk bergerak bersama dalam menuntaskan permasalahan yang ada. Cenderung akan terlihat reaktif bahkan akan menggunakan narasi-narasi yang mengarah kepada perbuatan radikal dan mendobrak batasan yang sudah diatur dalam konstitusi. Dalam keberlangsungannya untuk mendapat responsif dari masyarakat yang masih terbelenggu dalam onani otak dan bersifat fanatik berlebih, mereka akan lebih massif menggunakan cara hard (keras) dengan dalil-dalil seperti kriminalisasi ulama, membuat mata masyarakat —yang kita ketahui masih sangat konservatif— akan cenderung terprovokasi dengan narasi yang digunakan oleh calon tersebut. Sehingga tak ayal agama yang seharusnya digunakan sebagai alat pemersatu bangsa pun digadaikan demi kepentingan semata: lolos atau menang dalam kontestasi pemilihan umum.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara ini tidak baik tapi dalam istilah komunikasi politik ini bisa saja disampaikan dalam ruang-ruang terbuka di masyarakat. Karena ini —bisa kita katakan— komoditas yang sudah sejak lama dipertahankan dan menjadi isu yang terus menerus ada ketika kontestasi politik dilaksanakan.
Orang yang menggunakan isu bersifat hoax, ujaran kebencian, politik identitas, atau menggunakan money politics biasanya adalah orang-orang yang secara ektabiliatas masih tertinggal jauh dengan calon lainnya. Sering sekali kita lihat isu seperti itu menjadi bahan “gorengan” ketika musim politik berlangsung. Karena selain murah, isu seperti itupun terbukti cepat untuk menaikan elektabilitas yang tertinggal.
Ketika visi dan misi tidak bisa diterima oleh sekelompok masyarakat maka isu politik identitas, hoax dan kriminalitas terhadap ulama menjadi senjata politik yang sangat menjanjikan. Para politikus tersebut akan memasukinya dalam bentuk dukungan seperti menolak kriminalisasi ulama misalnya. Praktik politik seperti ini sangatlah berbahaya. Karena akan memicu perpecahan dan pengklasifikasian masyarakat dalam dua bagian. Yakni kelompok masyarakat yang pro dengan kelompok masyarakat yang kontra.
Isu politik identitas dan hoax mengakibatkan masyarakat yang satu dengan yang lainnya tidak mengedepankan prinsip-prinsip moralitas. Sehingga terjadi pengasingan dalam bentuk moral. Beberapa kasus misalnya seperti diusir dari daerahnya karena berbeda pilihan politik atau —yang sangat tidak waras dilakukan— tidak menguburkan jenazah sanak keluarganya karena berbeda pilihan. Isu seperti semakin jelas terlihat ketika kasus Ahok bergulir. Penggiringan opini (opini public) dengan bahan gorengan politik identitas dan hoax bukan hanya berhasil menggulingkan Ahok dari kontestasi politik dan menjebloskannya ke jeruji besi selama dua tahun. Lebih dari itu, isu seperti ini hampir saja membuat masyarakat yang terpecah menjadi rusuh dan meretakan kebhinekaan.
Tidak hanya itu peran media saat ini yang semakin membabi buta menyebarkan berita-berita yang bersifat ujaran kebencian dan distorsi kebenaran mengakibatkan masyarakat terdoktrinisasi dan mempercayai begitu saja informasi yang sebarkan oleh media social. Tujuannya hanya satu yakni mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sehingga masyarakat terkena virus hoax akut dan mendobrak moralitas yang ada di pikirannya. Tatkala narasi-narasi yang di katakan berhasil tapi ada juga yang tidak berhasil tergantung kepada masyarakat mempercayai nya.
UU ITE yang bertujuan untuk mengatur tatanan masyarakat agar tidak terlalu brutal dalam menyampaikan informasi tatkala membutakan mata mereka dan mengejawantahkan semuanya seakan tidak memperdulikan ancaman hukum yang sudah menunggunya kelak. Rasa fanatisme membutakan mereka akan perjuangan Bangsa Indonesia dalam upaya melepaskan belenggu dari kolonialisme Belanda dengan rasa persatuan. Fanatisme membutakan masyarakat pada budaya partisipatif yang mengedepankan praktik multikulturalisme dalam kehiduapan berbangsa dan bernegara.
Perlunya adanya upaya edukasi politik kepada masyarakat. Hal tersebut penting dilakukan untuk menangkal perpecahan atau politik devide et impera. Perang berkepanjangan yang semakin memperlihatkan pergeseran budaya yang semula gotong royong menjadi radikal. Ini adalah upaya kita bersama terutama bagi kader GMKI yang memegang teguh semangat Founding Father Johannes Leimena “Politik adalah etika untuk melayani” dan juga dengan semangat Nasionalis dan Oikumenisme yang mengedepankan kasih dalam upaya menghadirkan Shalom Allah melalui Tiga Medan Layan GMKI yaitu Gereja, Perguruan Tinggi dan Masyarakat
Kader GMKI diharapkan bisa mengawal isu-isu yang mengarah kepada tindakan perpecahan dan pergeseran moralitas di masyarakat dengan memberikan edukasi politik yang mengedepankan prinsip-prinsip gotong royong dalam membangun negeri. Saling meghargai perbedaan karena perbedaan bukan menghancurkan kita tetapi menguatkan kita untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Dan mengedepankan visi dan misi dari para calon, bukan melihat dari berapa banyak uang yang mereka punya tetapi melihat dari seberapa yakin calon yang akan dipilih bisa membuat perubahan dengan kerangka kerja yang akan disusun jika terpilih untuk 5 tahun yang akan datang.
“MUSUH KITA BUKAN SUKU DAN AGAMA YANG BERBEDA MELAINKAN KEKUASAAN YANG MENINDAS”