Kita ini hidup di dalam zaman keindahan yang instan, dan kapitalisme tahu bagaimana meracik seni cepat saji. Telinga kita pasti sudah akrab mendengar adagium “tubuh perempuan adalah pasar”. Jelas sekali dari ujung rambut sampai ujung kaki perempuan itu menjadi komoditi bagi berbagai produk kecantikan. Bagaimana tidak? Perempuan telah diindoktrinasi oleh slogan “kecantikan yang ideal” menurut industri kecantikan, sehingga tubuh perempuan bukan lagi miliknya tapi telah terindustrialisasi. Mulai dari rambut menjadi sasaran produk shampoo, bibir perempuan jadi sasaran produk gincu, wajah perempuan jadi sasaran produk bedak hingga perempuan tak lagi bangga dengan segala hal yang melekat pada tubuhnya.
Lihat saja misalnya iklan shampoo yang memakai model perempuan yang memiliki rambut berawarna hitam, panjang, dan lurus. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan gambaran itu, sebagian besar rambut perempuan indonesia memiliki rambut serupa. Namun, kepentingan industri di belakang iklan itu juga lupa bahwa ada sebagian besar perempuan indonesia yang memiliki rambut ikal, keriting, potongan pendek, atau mungkin rambutnya kecoklatan atau kemerah-merahan. Citra mereka jarang bahkan tidak pernah muncul di iklan shampoo Indonesia saat ini.
Sialnya, imaji perempuan dewasa berambut panjang, lurus dan hitam berkilau berhasil memikat pria tampan dalam iklan begitu menggiurkan. Masalahnya sebagian besar perempuan Indonesia tak masuk dalam kategori rambut ideal tersebut. Citra ideal itu hidup dan perlahan mengikis rasa percaya diri terhadap tubuh sendiri. Sehingga sebagian besar perempuan lainnya terdampar bak alien di tengah-tengah kelompok yang mengagung-agungkan citra tersebut. Ini hanyalah salah satu keadaan dimana perempuan belajar membenci tubuhnya sendiri.
Rambut seperti halnya bagian tubuh yang lain, juga mudah di otak-atik dan terluka. Selama bertahun-tahun kita menjadi korban untuk menjadi cantik. Kita melukai tubuh untuk menjadi putih walaupun kenyataannya ras kita mengkodratkan kulit yang berwarna kecoklatan. Selama berthaun-tahun kita merekonstruksi wajah agar terlihat putih dan mulus tanpa ada kecacatan sedikitpun. Mata yang fungsinya untuk melihat mulai dijejali softlens hingga kelopaknya ditempeli warna-warni eyeshadow. Bibir yang digunakan untuk berbicara dan makan dibubuhi gincu. Bulu mata dan alis yang fungsinya untuk melindungi mata, kita otak-atik dengan bulu mata anti-badai atau melukisnya seperti logo sepatu Nike yang terbalik. Selama bertahun-tahun, kita lupa bahwa tubuh menangis kesakitan setiap kali kita mereparasinya untuk memenuhi satu kata mutlak yaitu CANTIK.
Citra kecantikan perempuan menjadi sesuatu yang kejam, membelenggu dan dilematis bagi perempuan. Semua itu muncul dari stereotipe kecantikan yang dibangun oleh kontruksi sosial di masyarakat sehingga perempuan rela melakukan apa saja untuk memenuhi kontruksi tersebut. Stigma ini tidak terlepas dari latar belakang ketidakadilan akibat konstruksi gender serta subordinasi yang dialami oleh perempuan dengan adanya habitus cantik itu identik dengan tubuh tinggi langsing, kulit putih, hidung mancung, dan rambut lurus. Habitus masyarakat ini ada karena peran legenda yang diamini serta dilanggengkan dalam keluarga dan ruang publik.
Seperti kritik yang tergambar dalam buku Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Perempuan kontruksikan memiliki dua sisi, yaitu perempuan sebagai keindahan yang dapat membuat laki-laki tergila-gila jatuh bangun mengagumi sosok perempuan. Kedua, perempuan di anggap lemah yang digambarkan dengan perempuan mudah mengalami kekerasan seksual. Anehnya kelemahan tersebut dijadikan alasan oleh laki-laki untuk mengeksploitasi keindahannya. Bahkan ada juga yang beranggapan bahwa perempuan itu hina, manusia kelas dua, walaupun terlahir cantik tetap tidak diakui eksistensinya sebagai manusia yang bermartabat penuh kemuliaan.
Lebih jauh lagi Naomi Wolf menilai bahwa ada usaha dari industri kecantikan (kosmetik dan fashion) yang menjadi induk semang dari sistem patriarki untuk mengontrol kebebasan perempuan. Alih-alih menindas mereka secara langsung, patriarki dalam industri kecantikan menyerang perempuan dengan mitos kecantikan. Mitos kecantikan merupakan alat feminisasi perempuan yang membuat mereka terpenjara dalam ketidak puasan terhadap tubuhnya, rasa tidak bisa memuaskan laki-laki, bahkan membenci dirinya sendiri (Wolf, 2002:10). Sayangnya berkat media massa mitos kecantikan yang sudah menjadi hegemoni patriarki terus-menerus direproduksi. Perempuan diserang secara fisik dan psikologis terhadap peran-peran mereka dengan cara menempatkan mereka dalam perasaan tidak pantas dan tidak nyaman.
Tubuh merupakan Fetish (Red: Jimat), bukan hanya laki-laki tapi juga perempuan. Namun disini perempuan lebih rawan dijadikan sebagai objek yang di dorong untuk menemukan diri mereka di dalam barang-barang yang di iklankan oleh industri (Jhon Storey, 2017:114). Sehingga kecerdasan, kepribadian, tak lagi menjadi nilai yang dipandang sebagai bagian dari kecantikan juga yang lebih luhur. Maka Tak heran jika Nawal el Shadawi menentang makeup, sepatu hak tinggi dan semua hal yang kita sebut kecantikan. Baginya semua itu hanya menyengsarakan perempuan. Masih menurut Nawal sudah sepantasnya kita sebagai perempuan bangga dengan semua hal yang nampak alami dalam diri kita termasuk setiap keriput dan kerutan pada wajah yang menjelaskan semua itu bagian cermin perjalanan hidup.
Nawal mengatakan, kecantikan sejati adalah bila perempuan menjadi dirinya sendiri, yang tidak memalsukan kepribadian lain hanya untuk menyenangkan suaminya agar tidak diceraikan atau ditinggalkan karena perempuan lain. Artinya, jika kamu tampil dengan apa yang kamu inginkan atau tanpa ada orang lain di luar dirimu yang mengatur tubuhmu, maka kamu sudah cantik. Karena kecantikan muncul dari fikiran dan tubuh yang sehat serta kesempurnaan diri. Kecantikan tidak mengambil bentuk dari ukuran pinggul, lekuk tubuh yang montok, lapisan kosmetik yang menutup kegelisahan, dan kurangnya rasa percaya diri.