Sabtu, Maret 25, 2023
Mataraisa: Feminis Liberal Berpenampilan Satin

Raisa Fairuzza namaku.

Matahari boleh tidur selamanya tetapi aku, Raisa Fairuzza Tak!  Hari Tak sekarang tak jua di depan, pun kapan-kapan. Raisa Fairuza, perempuan satin yang menyimpan magma di dada, pejalan tak kenal rehat, terus melangkah sibak kerumunan para penghujat. Lempeng tak nengok kiri-kanan, sebab merasa ummatan-wasathan. Baginya kehidupan ideal adalah adalah berjalan di garis tengah.

Kita ini hidup disuatu masyarakat yang tidak pernah siap dengan kritik. Jika dipuji kita senang, diberi mimpi kita menjadi-jadi. Namun sekalinya dikritik langsung marah kebakaran jenggot, padahal kritik adalah tanda cinta. Pada zamannya, Rasulullah juga pernah dihujat seorang perempuan Anshar Madinah, dengan kritik yang benar-benar menohok sampai Rasulullah tak sanggup menjawabnya. Dan kita tahu, Allah lah yang menjawabnya dengan wahyu yang seketika itu turun. Surah Al-Ahzab ayat 35 itulah ayat egalitarian pertama yang turun dari langit, yang seterusnya menjadi kebanggan bagi kita—karena ternyata emansipasi sudah digemakan sejak berabad-abad silam. Bukan oleh kalangan Barat, tapi kota modern dengan perempuan –perempuan hebat yang cerdas, kritis dan dominan dalam keluarga. Apa yang terjadi dikurun kita ini? Jika satu saja lahir perempuan vocal yang berani menyuarakan ketimpangan zaman dan mengkritisi para mapan, utamanya para pemegang kuasa pasti segera diberangus sampai tuntas! Sedemikian benderang perbedaan itu, masih juga mereka menggemakan kata ittiba’Nabi, ittiba’ Rasul. Dimana letak ittiba’ mereka pada Rasul?

Tuhan Yang Maha Tahu segalanya menciptakan Hawa di samping Adam adalah untuk melengkapi kekurangan yang dimiliki Adam. Jadi Adam bukanlah mahluk yang sempurna—demikian pun Hawa. Keduanya hadir untuk saling melengkapi dalam seluruh konteks kehidupan. Jika Adam lemah, Hawa akan tampil sebagai yang kuat. Jangan berpikir Adam itu kuat jika ternyata mengurus makanan saja tak becus. Urusan cuci-piring dan teman-temannya itu bukanlah urusan remeh temeh jika ternyata darinya anda memprediksi kehancuran dunia. Jika anda sendiri tak pernah mau memberikan nilai yang sepadan atas seluruh jerih payah Kaum Hawa anda pun sama sekali tak memiliki arti, bahkan andai anda adalah seorang presiden. Karena dalam waktu singkat, dunia akan roboh sehancurnya tanpa partisipasi Kaum Hawa. Jadi Hawa adalah mitra sejajar bagi Adam. Saat Hawa naik di Kursi Presiden silahkan Adam cuci piring, Sebaliknya jika Adam bernasib baik duduk di kursi mentri biarkan Hawa yang bersih-bersih rumah. Begitulah keadilan bicara.

Ada yang mengatakan laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. bersandarkan pada ayat Arrijalu qawwamun ‘ala annisa (laki-laki adalah qawwamun bagi perempuan). Apa makna qawwamun? Disinilah letak ganjil yang sama kita rasakan. Sejak berabad-abad lalu, dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun, oleh para muasir klasik, kita diindoktrinasi pemahaman makna qawwamun adalah pemimpin. Benarkah demikian? Ternyata para cendekiaan muslim dari kalangan perempuan telah sama lahir dan melalui daya kritis dan kecerdasan mereka, telah ditemukan makna yang lebih tepat bagi kata qawwamun.

Menurut kamus arab yang paling kuno—dan masih masih terus dipakai hingga hari ini—kata qawwamun memiliki arti pembimbing, mitra sejajar dan teman sharing. Tak ada satupun yang menunjuk arti pemimpin. Untuk arti pemimpin, biasanya pakai kata rai’in seperti hadist nabi yang mengatakan ‘kullukum ra’in’, kalian semua adalah pemimpin. Dan kata qawamun bukan diambil dari kata qama-yaqumu-qawwamun (kata kerja atau fi’il), tapi dari akar kata qawmun-qawmani-qawwamun (kata benda atau isim). Ini analisis etimologis. Bingung kan? Sederhananya begini, jika kata qawwamun dimaknai pemimpin, akan tidak sejalan dengan semangat dan pesan global Al-Qur’an sendiri tentang nilai-nilai kesetaraan di hadapan Tuhan, juga tentang kemitraan semua mahluk. Bahwa Tuhan menciptakan semua mahluk-Nya berpasang-pasangan, hanya Dia Sang Khaliq yang Tunggal. Berangkat dari pemikiran seperti ini kata qawwamun akan lebih sesuai dimaknai sebagi mitra sejajar atau teman sharing, seperti yang selama ini dimaknai oleh kamus Arab sendiri. Ini disebut analisis hermeneutik.

Selain itu juga ayat tersebut ada lanjutannya yaitu ‘wa bima anfaqu min amwalihim’. Arti yang selama ini dipakai adalah ‘dan dengan nafkah (yang diberikan suami untuk istri dan keluarganya) dari harta mereka’. Sekarang boleh kita bertanya bagaimana jika ternyata yang memberi nafkah keluarga adalah istri? Berapa banyak di dunia ini para istri dan kaum perempuan yang menanggung nafkah keluarga? Apakah ayat itu akan berubah menjadi (misalnya) ‘annisa’u qawamuna ala arrijal? Atau jika para rijal itu tak memberikan nafkah bagi istri dan keluarganya, maka hilanglah status qawwamunnya? Pernahkan ada yang bertanya seperti itu? Mengapa tidak bertanya? Mengapa para ulama yang notabene adalah laki-laki itu hanya menggembar-gemborkan kepemimpinan bagi mereka? Padahal dalam kenyataannya kita adalah warga negara yang dipimpin oleh para laki-laki yang gagal jadi pemimpin!

Jadi intinya, laki-laki adalah mitra sejajar perempuan. Maka dari itu Tuhan menggunakan kata ‘zawj’ (jamaknya azwaj), maknanya pasangan. Fenomena azwaj ini dalam penciptaan manusia bisa direfleksikan bahwa laki-laki dan perempuan hendaklah mau bertauhid (bersatu) saling bekerja sama, melengkapi satu dengan lainnya, sehingga menjadi suatu kekuatan yang luar biasa. Laki-laki dan perempuan harus dipandang secara setara, sehingga relasi antara keduanya bersifat fungsional dan bukan struktural. Sebab relasi struktural cenderung melahirkan budaya subordinasi yang cenderung mengatasbawahi. Laki-laki dan perempuan adalah dua sayap burung yang keduanya berfungsi menggerakan tubuh burung tersebut agar dapat terbang di angkasa. Jika salah satu sayapnya patah atau sengaja dipatahkan, maka burung tersebut tidak bisa terbang dengan baik karena kehilangan keseimbangan.

Hal yang paling diakrabi di dunia ini oleh perempuan adalah isu-isu perempuan. Apakah jika perempuan membicarakan isu-isunya selalu dianggap feminis? Liberal lagi. Apakah kondisi seperti ini tidak meletikan api revolusi? Banyak tokoh kritis tapi perempuan serentak dicap sebagai penghujat, provokator, liar dan liberal. Tapi jika jenis kelamin anda adalah laki-laki betindak kritis maka akan dijatuh-cintai.

Ketika Cut Nyak Dien berkeputusan memimpin gerilya, apakah lantas kita menyebutnya Sang Feminis Radikal? Ketika Jendral Malahayati mendesak Porto di Malaka, feminiskah itu? Tentu mereka hanyalah para mukminat kuat dan cemerlang yang tak sudi dikoloni oleh apapun dan siapapun! Sejarah di masalalu telah menghasilkan banyak kembang peradaban yang benar-benar memberikan keharuman. Dari semua sisi kehidupan, ada figur-figur perempuan hebat disana, namun kadang tidak Qurani. Tugas kitalah memberikan sentuhan Qurani-nya dan mengaktualisasikan kembali figur-figur hebat itu dengan perspektif kekinian dan lebih kontekstual dengan persoalan zaman kita saat ini.

Terlebih saat ini sudah banyak tokoh-tokoh perempuan yang namanya sering masuk kedalam jajaran orang berpengaruh di dunia sebut saja Nawal El Shadawi, aktivis dan penulis hebat perempuan yang karyanya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Juga ada Fatima Meernissi, Guru besar dan pemikir perempuan dari Maroko yang sudah menelurkan karya-karya yang hampir selalu membuat kontroversial. Indonesia juga punya kebanggaan seperti Sinta Nuriyah, Susi Pudjiastuti, Sri Mulyani. Ada juga tokoh muda Najwa Shihab dan lainnya. Selain itu juga perlunya referensi bacaan yang dapat menambah khazanah keilmuan. Tidak masalah apakah itu kiri atau kanan, karena seiringnya bertambah pengetahuan maka akan menjadi bahan pendewasaan baik secara keilmuan maupun pemikiran.

Betapa Tuhan telah memberikan banyak kelebihan pada perempuan, diantaranya power yang dahsyat, mental yang tabah dan tahan uji. Maka dari itu, perempuan harus mempunyai kesadaran untuk mengembangkan potensi diri dan keilmuan yang mumpuni agar kita memiliki independensi dan kemandirian sikap. Kemandirian sikap ini dibutuhkan agar kita memiliki bargaining position ditengah laju kebudayaan. Karena hanya dengan cara itu, kita benar-benar akan mampu tampil sebagai ‘imadul bilaad’ yang diharapkan.

Tags: , , ,
Mahasiswa Ilmu Hukum. Mempunyai idealisme tinggi namun perlahan mulai pudar.

Related Article

0 Comments

Leave a Comment

Kategori

  • Esai (34)
  • Kabupaten Pandeglang (23)
  • Kota Cilegon (1)
  • Resensi (4)
  • Sastra (9)
  • Tokoh (2)
  • Unique (8)
  • Ikuti Kami!

    %d blogger menyukai ini: