Akhir-akhir ini media kita sedang heboh-hebohnya membicarakan resesi. Tetangga kita Singapura dikabarkan telah resmi mengalami resesi setelah pertumbuhan ekonomi pada kuartal keduanya terjun bebas ke angka minus 41,2%.
Akibat pandemi ini diramalkan Indonesia juga akan terjerambab ke dalam jurang yang sama. Bahkan BI meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua akan minus hingga 4,8%.
Setelah melihat apa yang terjadi di Singapura dan ramalan BI —juga beberapa ramalan lembaga lain— hal itu tentu sudah cukup membuat gaduh negeri kita. Banyak orang yang mulai berspekulasi cukup ngeri terhadap negara kita. Pengangguran naik, kemiskinan naik, ancaman PHK dan hal-hal ngeri lainnya.
Tapi sebelum jauh ke sana mari kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan resesi biar kita tidak pusing dan stress sendiri karena tidak mengerti istilah tersebut.
Apa itu resesi ekonomi dan bagaimana dampaknya?
Sederhananya, resesi adalah keadaan di mana PDB (Produk Domestik Bruto) suatu negara mengalami penurunan selama dua kuartal berturut-turut. Atau bisa juga kita katakan ekonomi mengalami pertumbuhan yang negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Jadi, jika pertumbuhan ekonomi turun akan tetapi belum negatif maka periode tersebut belum sah untuk dijadikan ‘tiang awal’ pengukuran resesi. Para ahli biasanya menggunakan istilah ‘ekonomi sedang lesu’ untuk kasus tersebut.
Singapura saat ini sudah dinyatakan resesi karena pada kuartal pertama tahun ini pertumbuhan ekonominya sudah minus 0,7%. Sedangkan Indonesia masih harus menunggu kuartal ketiga (Juli-September) untuk melihat ekonominya resesi atau tidak. Karena pada kuartal pertamanya (Januari-Maret) ekonomi Indonesia masih berumbuh 2,97%. Lebih baik dari negeri Upin Ipin yang hanya tumbuh 0,7%.
Tanpa dijelaskan panjang lebar pun seharunya kita sudah sama-sama faham dan mengerti bahwa resesi ini merupakan sebuah monster berbahaya yang harus kita hindari. Ancaman PHK, pengangguran, aktivitas manufaktur yang tersendat dan penjualan ritel menurun akibat melemahnya daya beli masyarakat adalah akibat dari resesi.
Apakah Indonesia akan resesi?
Jika pertanyaannya seperti itu maka jawabannya belum bisa dipastikan karena saat ini kita baru menginjak minggu-minggu awal dari kuartal ketiga.
Walaupun data PDB kuartal kedua saat ini belum dirilis akan tetapi hasilnya sudah bisa dipastikan pertumbuhannya negatif. Karena pada kuartal kedua tersebut (April-Juni) kita sedang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku secara efektif dibeberapa daerah sehingga kegiatan ekonomi menjadi terbatas.
Kita sebagai warga negara yang baik tidak perlu risau dan kaget jika data resminya sudah dirilis. Hal itu sangat wajar dan sejauh ini memang belum ada negara yang benar-benar menyatakan tidak terdampak secara ekonomi akibat pandemi ini.
Dengan diberlakukannya Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) seharusnya ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga ini bisa sedikit membaik. Karena aktivitas ekonomi bisa kembali berjalan normal. Buruh kembali bekerja di pabrik, pagawai kembali ke kantor dan masyarakat Kembali berbelanja. Yah, walaupun untuk merangkak naik memang agak sedikit susah dibandingkan turun.
Sebelumnya, Indonesia pernah mengalami resesi besar pada tahun 1998 yang menyebabkan huru-hara dan demonstrasi besar-besaran hingga tergulingnya Presiden Suharto dari tampuk kekuasaannya. Sedangkan pada tahun 2008 Indonesia berhasil lolos dari resesi yang dimana pada saat itu Amerika Serikat sangat terpukul. Atau lebih tepatnya krisis 2008 tidak dirasakan oleh masyarakat secara langsung.
Bagaimana cara Indonesia agar tidak terjebak resesi?
Seperti yang kita tahu bahwa struktur pembentuk PDB adalah GDP=(C+I+G+NX) yang di mana C merupakan konsumsi, I itu investasi, G adalah pengeluaran pemerintah dan NX merupakan net ekspor dikurangi impor.
Beruntungnya Indonesia, dalam struktur PDB-nya kita lebih didominasi oleh sektor konsumsi yang memiliki andil sekitar 56%. Jadi secara teknis untuk bisa menaikan PDB-nya, Indonesia tidak tergantung terhadap negara luar seperti halnya Singapura.
Struktur PDB Negara Singapura lebih di dominasi oleh NX yang dimana kita semua tahu bahwa Singapura merupakan negara jasa yang mengandalkan global supply chain. Tempat untuk transit barang ekspor-impor. Itulah alasan mengapa ekonomi Singapura bisa sangat anjlok pada kuartal kedua ini.
Untuk bisa memulihkan ekonomi negaranya Singapura harus benar-benar menunggu negara lain pulih agar ekspor-impornya kembali berjalan normal.
Kembali ke Indonesia.
Jika Indonesia ingin PDB-nya naik maka pemerintah harus bisa menggenjot sektor konsumsinya. Jadi, permasalahan yang menjadi fokus Indonesia dalam menaikan PDB saat ini adalah bagaimana cara menaikan daya beli masyarakatnya. Baik itu dari sisi supply (pengusaha) ataupun demand (konsumen).
Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menggenjot konsumsi masyarakat. Bisa melalui pendekatan fiskal atau moneter. Secara mendasar keduanya sama-sama berusaha agar uang yang beredar di masyarakat tidak ‘kering’.
Jika kita pernah mendengar istilah Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Relaksasi Pajak, Jaring Pengaman Sosial, Kartu Prakerja, Bank Jangkar, Injeksi Liquiditas, Quantitative Easing atau istilah-istilah lainnya itu tidak lain merupakan bagian dari rekayasa ekonomi yang dilakukan pemerintah agar bisa terus menggenjot konsumsi.
Selain sektor konsumsi pemerintah juga harus menaikan belanjanya. Karena hanya sektor ini saja yang bisa kita diandalkan setelah konsumsi. Andil pengeluaran pemerintah dalam struktur ekonomi kita cukup besar jika dibandingkan investasi dan net ekspor.
Bulan lalu Presiden Jokowi sempat marah kepada menteri-menterinya karena lambatnya belanja pemerintah. Dan ini merupakan peringatan yang cukup keras dari Presiden untuk segera menyerap anggaran yang tersedia.
Ditengah pandemi ini investasi tidak bisa kita andalkan karena negara-negara investor pun ekonominya sama-sama sedang menurun. Apalagi jika ingin mengandalkan net ekspor. Sangat mustahil, karena tahun 2019 saja minus hingga 18,74%. Ya, kita memang lebih banyak impor. Mungkin barang Shopee yang kita pesan dari Tiongkok menjadi salah satu penyebabnya (?)
Lalu apa yang bisa masyarakat lakukan demi menyelamatkan ekonomi Indonesia?
Setelah pembubaran Gugus Tugas maka tugas pemerintah pusat seharunya bisa menjadi lebih enteng karena bisa berfokus pada pemulihan ekonomi nasional. Sedangkan penanganan COVID-19 dilimpahkan kepala daerah masing-masing melalui pembentukan Satgas.
Secara itung-itungan di atas kertas seharunya apa yang dilakukan oleh pemerintah ini sudah tepat. Tinggal pelaksanaan PEN-nya saja yang harus kita awasi bersama. Jangan sampai kasus Kartu Prakerja kembali muncul dalam bentuk lain.
Jadi, tugas masyarakat sebenarnya sangat sederhana, yaitu mengawasi dan menyalurkan dana yang diterima sebagaimana mestinya. Misalnya, ketika pemerintah memberikan bantuan dana kepada pelaku UMKM maka dana tersebut harus digunakan untuk penambahan modal usaha bukan malah digunakan untuk sektor konsumtif. Karena sektor tersebut sudah ada programnya berupa Bansos.
Tapi, habit orang Indonesia ketika dapet uang yang lumayan biasanya sih emang belanja. Kalau sudah seperti itu.. asu dah lah.